Sabtu, 26 Juni 2010

Kaligrafi Islam

Pesona Kaligrafi Islam 
Dan Keunikannya
Oleh: Abu Gybran















'Waman lam yaj'alillahu lahuu 
nuuron famaa lahuu min nuurin"
Barang siapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah, 
maka tidaklah dia mempunyai cahaya sedikitpun
 (An-Nuur:40)
 
 

























Kaligrafi Islam yang saya tulis ini menggunakan tinta emas. Menulis kaligrafi islam dengan media porselen mempunyai keunikan dan keindahan tersendiri. Porselen yang sudah dikenal dan dikembangkan ribuan tahun yang lalu, dengan warna putihnya mampu mengeluarkan cahaya sehingga tulisan terkesan jelas dan indah. Proses pembuatannya juga cukup unik, porselen dibakar dengan suhu 1300 'c.***

Jumat, 18 Juni 2010

Ke-Indonesia-an


Aku dan Batik

Salah satu bukti kecintaanku pada tanah air adalah mencintai budaya dan produk dalam negeri. Ngantor hari Jum'at, seperti kurang pas tanpa mengenakan pakaian batik. "Ha,ha,ha,....biar tidak kalah oleh pejabat".


Rabu, 16 Juni 2010

Selasa, 08 Juni 2010

Cerpen: Getirnya Ranjang Pengantinku

Oleh: Abu Gybran


Cerpen ini terinspirasi dari perjalanan hidup seorang teman Buruh Migran Indonesia yang bekerja di Taiwan.


Udara cukup terik saat aku tiba dikampung halaman dari rantau yang cukup jauh bagi seorang perempuan muda seperti aku, Brunei Darussalam. Ditingkahi kicau burung gereja, desir angin yang meniup dedaunan akasia yang ada disamping rumah, seakan ikut menyambutku. Bekerja di sebuah restaurant China, sebenarnya bukan sebuah pilihan hidupku. Tapi keadaanlah yang memaksa aku untuk memilih profesi ini. Di kampungku, Blitar bagian selatan, kehidupan keluargaku tidaklah tergolong keluarga yang berkecukupan, ditambah sulitnya lapangan kerja yang membuat aku nekad kerja di negeri orang. Ya,.....walau hanya sebagai tukang cuci piring. Orang tuaku bilang aku kerja ngebabu.

Aku terharu melihat keluargaku yang begitu gembira menyambut kedatanganku, terlebih kedua orang tuaku. Aku menangis haru, saat ibu dan kakakku, Lastri, memelukku erat. Kerinduan yang membuncah terbalas sudah. Kebahagian yang sulit aku lukiskan. Terima kasih, Tuhan, syukurku berulang-ulang, membatin.

Ibu menatapiku terus. Seperti ada sesuatu yang dicarinya dari anggota badanku. Tapi sesaat kemudian aku melihat senyum yang mengembang disudut bibirnya yang terus dirambah usia.

"Kamu sehat, En", ucapnya masih penuh selidik. Walau sesekali dia masih memperhatikan tangan dan kakiku. Kasih sayangnya terasa menyejukan.

"Enha sehat, baik, berkat doa ibu, bapak dan semua keluarga", terangku.
"Tapi badan kamu agak kurus, En", sela kakaku, Lastri.
"Lha, itu sih dari dulu", sergah bapak. Semuanya tertawa dan aku hanya tersipu.

Ach,....lengkap rasanya kebahagiaanku. Ya,...aku ingin mereka bahagia. Dan aku tidak akan bercerita betapa beratnya pekerjaanku. Aku tidak ingin mereka tahu, betapa sakitnya dicaci-maki majikan lantaran sebuah piring pecah saat dicuci. Bagiku, ini adalah resiko pekerjaan.

Sebenarnya aku pulang -disamping kontrak kerjaku selama dua tahun habis- bukan hanya rindu keluarga, tapi aku ingin membuktikan sebuah janji dari seorang yang sering membuat aku bermimpi. Dan aku sudah berencana untuk tidak memperpanjang kontrak kerjaku. Semua ini aku lakukan hanya ingin mewujudkan mimpiku; hidup bersama orang yang telah lama kurindui. Sudah sekian lama aku menunggu pembuktian dari janjinya. Sebuah janji yang telah membuat darahku berdesir. Ya...janji dari seorang pujaan hati yang selama ini keberadaannya aku rahasiakan dari keluarga.

Sabastian,.......ya, dialah yang membuat hidupku bersemangat untuk menjalaninya, indah dan penuh warna. Tutur katanya telah meluluhlantakan sendi-sendi tulang dan mampu melumerkan kebekuan hatiku. Dia pernah berjanji akan melamarku sepulangnya aku dari Brunai. Walau dipisahkan jarak, dia memang sering menelphonku. Terkadang mendengar suaranya saja, persaanku seperti melayang. Saat rindu memburu kalbu, aku seperti gila. Ach,....betapa aku mencintainya sepenuh jiwa. Bagiku dia adalah separuh napasku. Aku merasakan cinta memang tidak mengenal jarak dan di mana.

"En, jika kau sudah di Blitar, aku akan segera melamarmu", ucapannya yang selalu terngiang ditelingaku. Aku ingin segera berada disisinya, bukan lagi pacar tetapi sebagai isterinya. Harapanku memang terkadang melampaui tingginya bintang. Terlebih aku merasa usiaku sudah tergolong tidak muda lagi untuk ukuran seorang gadis desa, 28 tahun.

Satu minggu dari kepulanganku, ada kecemasan menggantung dalam benakku. Kenapa Sabastian tidak kunjung menemuiku? Padahal aku sudah menunggunya dengan segala harap. Kenapa pesanku melalui SMS tidak dijawabnya? Kecemasanku makin menjadi-jadi seiring waktu yang terus bergulir dan menggerus semua impianku. Aku merasakan waktu seperti telah menguburku dalam sekali. Mulutku tak sempat lagi berkata-kata apa lagi berteriak memanggil namanya. Melalui pesan singkat yang aku terima, Sabastian, kekasih yang aku puja itu bertutur tentang apa yang tengah dihadapinya saat itu. Ketidak-berdayaannya terhadap keinginan kedua orang tuanya telah membuatnya mengambil keputusan yang teramat menyakitkanku. Dia memutuskan aku karena dia tidak mampu menolak perjodohan dari orang tuanya.

"Maafkan aku, En. Aku tidak bisa menolak keinginan orang tuaku yang telah menjodohkanku dengan gadis lain. Tapi percayalah, En, dihatiku yang paling dalam hanya ada kamu. Aku terima segala kebencianmu padaku. Aku sungguh terpaksa mengambil keputusan yang menyakitkan ini. Aku berharap, kau dapat melupakanku. Anggap saja aku telah tiada. Selamat tinggal En....."

Seperti halilintar yang menggelegar di siang hari. Aku terhempas di antara karang-karang terjal. Sakit dan menyakitkan. Penuh luka dan berdarah-darah. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Segalanya telah menjadi gelap dan tertutup.

"Kamu sakit, dik?" tanya kakaku suatu hari. Sebenarnya aku sudah berusaha menyembunyikan kegetiran perjalanan cintaku ini. Aku tidak mau melibatkan keluarga, terlebih terhadap orang tuaku. Tapi rupanya kakaku memperhatikan perubahan yang memang nampak jelas dari raut wajahku. Kecerianku telah lenyap digerus keangkuhan. Bahkan terkadang aku membatin atas ketidakmengertianku terhadap perjalanan cintaku ini; kenapa masih ada persoalan Siti Nurbaya? Aku tidak mengerti jawabannya. Di mana sebagian orang sekarang tengah menikmati kebebasan, aku malah merasakan hasrat dan cintaku terbelenggu. Harapanku hancur berantakan karena sebuah keangkuhan yang sama sekali tidak memahami betapa besar dan sucinya cintaku.

"Aku ada masalah, mbak", suara ku parau. Aku terpaksa bercerita dengan perasaan berat.
"Boleh mbak tahu?"

Aku diam sejenak. Sepertinya berat sekali, lidah seperti terkunci. Kutatap wajah kakaku perlahan. Dia menunggu jawabanku dengan penuh perhatian dan sayang. Aku berusaha tenang saat dia bertanya untuk kali kedua. Aku menarik napas dalam sekali.

"Mbak, tahu 'kan Sabastian yang pernah aku ceritakan sama mbak dulu?" tanyaku lirih.
"Ya, mbak ingat. Pacarmu itu 'kan?"
"Ya".
"Kenapa dia dik?"

Aku terdiam sejenak. Sesekali tanganku memainkan ujung baju. Aku merunduk, bahkan terkadang menengadah. Sulit rasanya menerima kegetiran ini. Tak pernah terbayangkan sama sekali sebelumnya. Kebahagian yang sempat aku reguk, terhapus dan hilang begitu saja. Seperti mimpi indah yang hilang diujung pagi. Embun tak lagi menyejukan hati. Semuanya telah berubah dan menjauh dengan menyisakan kegetiran yang menyesakkan.

"Mbak, aku pulang bukan hanya kangen dengan semua keluarga. Tapi ada hal yang lain. Sesuatu yang ingin aku buktikan yaitu janjinya Sabastian yang akan melamarku........." suaraku terputus karena terpotong ucapan kakaku.

"Lha, kalau persoalannya hanya itu kenapa kamu sedih, dik? Takut ngomong sama bapak dan ibu? Biar nanti mbak yang nyampein. Kalau mbak,.....mbak sangat setuju. Syukur dech, kalau begitu. Kapan Sabastian mau datang kesini ngelamar kamu?" Ungkap kakaku penuh semangat.

Kakaku menatapku, ada senyum tipis di sudut bibirnya. Dia memegang pundakku perlahan dan meminta agar aku menceritakan semuanya. Dengan sesekali aku mengusap air mata yang tak terbendung lagi, semuanya aku ceritakan dari awal perkenalanku dengan Sabastian di Brunai Darussalam hingga menjalin kasih. Bahkan kamipun pulang bersama-sama untuk acara tunangan. Satupun tidak ada yang tercecer, semuanya aku ceritakan sampai di mana saat Sabastian berjanji untuk menikahiku secepatnya.

"Sekarang dia sudah menikah beberapa hari yang lalu, mbak. Dia sudah dijodohkan dengan gadis lain pilihan orang tuanya". Aku menangis dalam rangkulan kakaku. Kakaku merangkul dan sesekali mengusap-usap rambutku yang tergerai panjang. Ada bisikikan lembut yang aku dengar keluar dari mulutnya perlahan. Bisikan yang setidaknya dapat menyejukan hatiku. Kakaku meminta agar aku tetap bersabar dan menerima persoalan ini dengan besar hati. Tidak termehek-mehek, karena jodoh merupakan ketentuan sang Maha Pencipta.

Waktu terus berputar seiring dengan perjalanan hidupku. Perjalan hidup yang aku sendiri masih bingung untuk berbuat apa. Tapi aku tidak mau berlama-lama larut dalam kesedihan. Akhirnya tanpa pikir panjang aku memutuskan untuk kerja kembali ke luar negeri. Tujuanku kali ini adalah negara Taiwan. Aku daftar pada salah satu agen perusahaan penyalur jasa tenaga kerja di Jakarta. Aku sengaja memilih agen di Jakarta, karena aku tidak mau orang lain termasuk Sabastian tahu aku pergi kemana. Aku ingin membuang masa lalu yang menyakitkan itu jauh-jauh.

Dengan bermodal bahasa mandarin yang pas-pasan, akhirnya aku diberangkatkan ke Taiwan. Pekerjaanku adalah pembantu rumah tangga. Aku ditempatkan di Tainan City selatan dari ibu kota Taipe, pada keluarga yang aku panggil tuan Fenghu. Memasuki kali pertama rumah ini, aku seperti merasa tidak nyaman. Sebenarnya aku ingin menepis perasaan ini, tapi batinku seakan membisikan sesuatu agar aku berhati-hati.

Firasatku benar, tidak perlu menunggu terlalu lama kerja pada keluarga tuan Fenghu. Sebenarnya aku mencoba untuk bertahan atas perlakuan nyonya Fenghu yang menurutku sudah di luar batas. Bukan hanya mulutnya yang cerewet dan judes saat mencaci-maki aku lantaran telat menyiapkan sarapan pagi, bukan hanya satu atau dua kali dia menjambak rambutku sekuat-kuatnya. Kalau sudah begini, aku cuma bisa menangis, ya,.....menangis.

Yang lebih menyakitkan lagi adalah perlakuan tuan Fenghu, aku pernah dipaksanya untuk melayani napsu bejatnya ketika dia mabuk akibat pengaruh minuman keras. Malam itu hampir saja aku kehilangan kesucianku. Aku melawan dan aku dapat meyelamatkan diri. Tapi aku harus keluar dari rumah itu karena tuan Fenghu mengusirku malam itu juga. Dalam kebingungan aku menyusuri jalan, aku tidak tahu aku harus kemana? Malam yang sangat kelam........

Beruntung aku masih punya teman yang bisa kuhubungi dan menyelamatkanku dari segala macam kebingungan. Esok harinya aku melapor ke agen PJTKI yang menyalurkan aku. Aku sangat bersyukur karena setelah kejadian itu aku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Aku ditempatkan pada keluarga yang aku anggap sangat baik, hingga sekarang aku bekerja di keluarga tuan Ko, aku biasa memanggilnya.

***

Saat aku pulang ke Blitar, setelah dua tahun aku kerja di Taiwan dan masa kontrakku habis, kehidupanku sudah kembali normal. Aku sudah dapat melupakan kegetiran hidup yang pernah aku alami. Bayang-bayang Sabastian, walau kuakui belum sepenuhnya hilang, tapi aku sudah dapat menepisnya.

Dalam ketenangan batin yang kembali berirama, aku dipertemukan dengan seorang lelaki melalui teman sekolahku dulu, Marni. Perkenalanku dengan Sunarto, seorang duda, yang usianya jauh di atasku berjalan apa adanya. Bahkan ketika dia bermaksud melamarku, aku tidak merasakan sesuatu yang membuat getar-getar hati. Biasa saja. Aku menghargai niatnya untuk menikahiku. Jujur saja ada pertimbangan lain saat dia benar-benar menikahiku dan aku menerimanya sebagai suamiku, karena aku tidak mau melihat kecemasan orang tuaku. Ya, kecemasan orang tuaku yang dapat aku tangkap karena usiaku yang terus bertambah. Mereka seperti cemas andai aku menjadi perawan tua. Sebuah pernikahan yang aku sendiri gamang untuk menjalaninya. Entahlah.........

Kegamangan itu aku rasakan pada malam pertama; aku tidak menemukan kehangatan pada ranjang pengantinku. Getirnya ranjang pengantinku, dingin dan tak bereaksi saat suamiku menjamahku dengan penuh birahi. Kalau saja aku tidak memahami kewajiban seorang isteri, aku ingin sekali menolaknya. Duh, kenapa aku ini? Kemana ketenangan batin yang sempat kunikmati? Dimana kebahagiaan yang semestinya kureguk pada malam pertamaku? Kegamanganku telah mengalahkan segalanya. Dinginnya hati membuat batinku menangis, maafkan aku suamiku.

Waktu seperti roda yang terus berputar meninggalkan aku jauh. Aku terus berusaha menggapai, membangun kembali puing-puing yang sempat tercecer dan terserak. Aku ingin membangunnya bersama suamiku. Tapi kenapa berat sekali? Padahal aku sudah berusaha seikhlas mungkin menjadi isterinya.

Selama menjadi isterinya, sampai usia perkawinan empat bulan, aku belum pernah sepeserpun mendapatkan nafkah lahir darinya. Biaya hidup berumah tangga nyaris menggunakan sisa tabunganku yang terus menipis. Suamiku lebih banyak diam saat aku minta uang buat belanja dapur.

"Kamu 'kan tahu dari dulu, kalau aku belum dapat kerjaan".
"Tapi, mas, hidup 'kan perlu biaya".
"Sudah, pakai saja tabunganmu dulu, nanti aku ganti".

Sampai tabunganku habis, suamiku belum juga kerja. Terlintas di benakku untuk kembali kerja ke Taiwan. Aku tidak mau menunggu terlalu lama untuk mendapatkan nafkah dari suami. Aku tidak mau bergantung pada jawaban suami yang belum pasti. Harus sampai kapan aku menanti? Penantian yang teramat panjang kian menjuntai dan melelahkan. Bukan hanya persoalan ini saja yang aku hadapi, rumah tanggaku pun yang baru seumur jagung dirundung ketidak-pastian. Entahlah, suamiku berusaha menjauhiku.

Akhirnya untuk kali yang kedua, aku kembali berangkat ke Taiwan. Aku merasakan sesuatu yang ganjil dalam diriku, tidak ada perasaan berat ketika harus meninggalkan suamiku. Tidak ada air mata. Tidak ada tangis saat aku melambaikan tangan perpisahan. Aku pergi untuk mencari sesuatu yang dapat membuat aku tersenyum. Kebahagian yang lama kunanti dan kuimpikan. Aku menyadari waktu memang tidak bisa mundur kebelakang. Aku harus memulainya dari awal kembali. Harapanku cuma satu, hikmah yang bisa kupetik dari perjalanan yang telah kujalani. Aku yakin masih ada setitik cahaya yang dapat menyinariku. Akan kunanti sampai matahari terbit esok hari. ***


*Cerita ini seperti yang dituturkan oleh Enha Patria, sampai sekarang dia masih bekerja sebagai buruh migran di Taiwan.