Rabu, 21 September 2011

Jerat Hutang,

ANTARA UMK 
DAN GAYA HIDUP 
YANG DIPAKSAKAN
Oleh: Abu Gybran

"Pengennya sih, lepas dari jeratan hutang. Tapi.....harus gimana lagi? Upah sebulan hanya cukup untuk makan istri dan anak-anak," keluh seorang buruh disela rehat setelah makan siang pada rekan-rekan kerjanya di suatu hari. 

Petaka UMK
Sepintas mendengarkan obrolan mereka, terkadang hati saya merasa miris, prihatin. Betapa tidak, ternyata hampir semua buruh yang rata-rata sudah berkeluarga, yang ngobrol saat itu mempunyai persoalan yang sama; yakni tidak bisa lepas dari jeratan hutang. Saya tidak tahu, apakah mereka tidak bisa mengatur keuangan, antara penghasilan dan pengeluaran? Sehingga setiap bulannya selalu saja nombok dengan berhutang. Atau memang upah yang mereka terima jauh dari cukup? 

Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang dijadikan standar atau acuan oleh setiap perusahaan, barangkali bisa dikatakan cukup bagi buruh yang baru masuk kerja yang rata-rata mereka masih berstatus lajang. Memang sepengetahuan saya pun, aturan normatif yang terkait dengan besaran UMK ini diperuntukkan bagi buruh yang masa kerjanya kurang dari satu tahun atau sebagai acuan dasar pengupahan bagi buruh yang mempunyai masa kerja lebih dari satu tahun. Artinya besaran UMK tidak berlaku bagi buruh yang masa kerjanya diatas satu tahun atau lebih.  Upah mereka harus lebih besar diatas besaran UMK.

Kalau setiap perusahaan menyamaratakan pemberian besaran upah kepada buruhnya sebesar UMK tanpa membedakan masa kerjanya, tentu sistem pengupahan seperti ini sama sekali tidak mencerminkan keadilan.  (Menurut saya, ini merupakan 'petaka UMK' bagi buruh). Perusahaan semacam ini hanya melaksanakan 'gugur kewajiban' terhadap aturan yang berlaku tanpa ada niat untuk mensejahterakan buruhnya. 

Nah, wajar saja jika buruh yang bekerja pada perusahaan yang menganut ajaran asal 'gugur kewajiban' terhadap aturan pengupahan khususnya, akan selalu terjerat oleh hutang yang berkepanjangan. Mungkin, bukan lagi gali lubang tutup lubang tapi gali lubang tanpa bisa ditutup. Kenapa? Karena beban tanggungan buruh akan terus bertambah. Bukan lagi hanya pada soal makan, tapi biaya pendidikan bagi anak-anaknya dan lain sebagainya akan menunggu dikemudian hari. Tentu saja tidak akan nyaman jika hidup selalu mengandalkan pada hutangan.

Gaya Hidup Yang Dipaksakan
Barangkali ini pun merupakan salah satu faktor juga kenapa buruh selalu berhutang, yaitu gaya hidup yang lepas kontrol atau sengaja dipaksakan. Memaksakan diri untuk 'berpunya' dengan mengukur kemampuan penghasilan atau gaji, itu bagus. Tapi memaksakan diri dengan gaya hidup yang sebenarnya belum terukur oleh besaran penghasilan, hanya akan membuat pusing tujuh keliling.

Saya sering berfikir melihat gaya hidup buruh saat ini. Bukan lagi hal yang aneh kalau saat ini buruh sering gonta-ganti HP baru tiap bulannya. Bahkan kalau saya perhatikan hampir semuanya buruh sudah berkendaraan sepeda motor, walau saya tidak punya data yang valid dalam hal ini, tapi saya bisa melihat ketika pagi jalanan penuh sesak oleh sepeda motor terlebih jalan-jalan yang melewati Kawasan Industri dan mereka adalah buruh.

Memiliki sepeda motor, bukanlah hal yang sulit bagi buruh pabrik. Melalui Koperasi Karyawan (Kopkar), dengan uang dua ratus lima puluh ribu rupiah sebagai uang muka, mereka sudah mendapatkan satu sepeda motor. Resikonya tentu tiap bulan gaji akan berkurang karena dipotong untuk cicilan sepeda motor. Nah, buntutnya bisa ditebak, untuk kebutuhan belanja dapur dan pendidikan anak sudah pasti sangat kurangnya. Dan kalau sudah begini, jalan pintasnya adalah cari hutangan.

Terakhir, saya ingin menutup tulisan ini dengan kata sederhana; Hidup bahagia adalah dambaan bagi setiap orang. Oleh karenanya diperlukan 'seni' untuk mengatur segala keperluan hidup dengan mengukur kemampuan diri. ***

Tidak ada komentar: