Jumat, 13 Januari 2012

Ancaman PHK

 KETIKA BURUH 
HARUS MEMILIH
Oleh: Abu Gybran


Buruh, khususnya di Kabupaten Tangerang boleh bersuka cita dengan kenaikkan Upah Minimum Kabupaten/Kota tahun 2012 ini sebesar Rp. 1,527,150. Saya pun ikut senang dengan kenaikkan yang menurut saya cukup meroket ini. Seperti halnya tahun lalu kenaikkan UMK kali ini pun melalui proses yang cukup panjang. Besaran UMK yang pertama ditanda tangani oleh Gubernur Banten melalui Surat Keputusan no. 561/Kep.886-Huk/2011 untuk Kabupaten Tangerang adalah sebesar Rp. 1,379,000 yang kemudian direvisi melalui Surat Keputusan no. 561/Kep.1-Huk/2012 menjadi Rp. 1,527,150.

Disamping kenaikkan UMK, Gubernur Banten Ratu Atut Chosyiyah pun menandatangani  Surat Keputusan no. 561/KEP.2-Huk/2012 tentang Upah Minimum Sektoral (UMS) Kabupaten Tangerang yang besarannya berdasar Kelompok Jenis Usaha. Kelompok pertama (1) sebesar Rp. 1,758,522, kelompok kedua (2) sebesar Rp. 1,682,065 dan kelompok ketiga (3) sebesar Rp. 1,605,607.

Jika dibandingkan dengan UMK tahun 2011 untuk Kabupaten Tangerang sebesar Rp. 1,285,000 dengan UMS tahun 2012 sebesar Rp. 1,682,065 maka kenaikkan upah tahun ini naik sebesar 30%. Sekali lagi, saya sebagai buruh ikut bergembira.

Namun kegembiraan saya sedikit terganggu dengan keberatan yang hampir seluruh perusahaan menolak kenaikkan UMK dan UMS ini. Ada apa dengan para pengusaha? Bahkan tidak sedikit perusahaan yang mengancam untuk memPHK sebagian buruhnya jika UMK hasil revisi dan UMS dipaksakan untuk diberlakukan (Kompas, 07/1). Saya berpikir, bagaimana kalau ancaman pengusaha ini benar-benar dilakukan? Lantas bagaimana dengan nasib buruh berikut keluarganya yang menjadi korban PHK? Siapa yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup mereka?

Untuk mengetahui jawaban itu, saya berkesempatan mengunjungi Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang pada tanggal 09/1 dan saya menemui salah seorang pengawas ketenaga-kerjaan. Saya utarakan tentang kegalauan hati saya kepadanya. Kenapa gonjang-ganjing ini bisa terjadi?

Jawabannya cukup singkat dan tidak berbelit-belit; "Kami hanya menjalankan tugas mengawasi pelaksanaannya apa yang telah di-SK-kan oleh gubernur." Lagi pula menurutnya, kenaikkan UMK dan UMS itu berdasarkan kesepakatan antara buruh (Serikat Buruh) dan pengusaha (Apindo).

Lantas saya pun bertanya: "Kalau memang kenaikkan UMK dan UMS ini berdasarkan kesepakatan antara Serikat Buruh dan Apindo, semestinya tidak terjadi gonjang-ganjing seperti saat sekarang ini. Tapi kenapa Apindo Provinsi Banten melalui ketuanya, Dedi Junaedi, mem-PTUN-kan revisi SK gubernur yang berkaitan dengan kenaikkan upah ini?" Untuk pertanyaan terakhir saya ini, saya tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan.

Kanaikan UMK dan UMS tahun 2012 
Kental Dengan Muatan Politik?
Untuk soal yang satu ini, sebagai orang yang awam terhadap perkembangan politik, saya hanya sekadar meraba-raba saja. Saya berpendapat biasa di negeri ini bila menjelang pemilu lima tahunan suhu politik sudah mulai menghangat. Biasanya para pejabat sudah mulai pasang muka untuk mengambil hati rakyat. Terlebih di Banten dimana gubernur dan wakil gubernur terpilih saat itu akan dilantik pada tanggal 11 Januari 2012. Momen ini, ( sebelum tanggal pelantikkan  ) dimanfaatkan dengan baik oleh buruh dengan mengancam pemboikotan pelantikkan gubernur dan wakilnya dan berhasil. Besaran UMK yang semula sebesar Rp. 1,379,000 kemudian direvisi oleh gubernur menjadi sebesar Rp. 1,527,150.

Jika yang saya raba-raba ini benar, betapa sia-sianya hasil survei kebutuhan hidup layak yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan dalam menentukan besaran upah minimum kalau hasil akhirnya diselesaikan oleh kekuasaan politik. Sangat menyedihkan ketika fungsi dan upaya Dewan Pengupahan dicampakkan oleh arogansi kekuasaan. Menurut saya, wajar jika kemudian pemilik modal menjadi resah karena ketidak-tegasan seorang gubernur. Saya merasa khawatir, jika ancaman para pengusaha benar-benar dibuktikan dengan mem-PHK buruhnya. Buntut-buntutnya selalu saja buruh yang menjadi korban. Nah,.....siapa yang mau bertanggung jawab terhadap buruh yang menjadi korban PHK?

Ketika Buruh Disudutkan
Setahu saya ada beberapa perusahaan di Kawasan Industri Balaraja yang bersikukuh hanya menerapkan UMK bukan UMS. Para pengusaha beranggapan angka besaran UMS dianggap angka ajaib sehingga sulit untuk dilaksanakan. Akhirnya buruh disudutkan pada dua pilihan menerima kebijakan perusahaan atas UMK saja atau PHK karena perusahaan beralasan tidak sanggup untuk membayar upah berdasarkan UMS yang dianggap ajaib itu.

Mudah ditebak, buruh memilih tetap bekerja daripada nganggur. Sebab mereka pun pasti beranggapan sama seperti saya; Kalau menganggur siapa yang mau bertanggung jawab? Pihak-pihak terkait dalam hal ini pasti ramai-ramai mencuci tangan. Hah.....!!!*** 


 
.