Rabu, 15 Agustus 2012

ORANG-ORANG ANEH

Oleh : Abu Gybran

Ada beberapa prilaku dari orang-orang yang ingin saya tulis disini. Terus terang, saya tidak habis pikir ketika mengetahui prilaku mereka yang menurut saya adalah aneh. Betapa tidak, mereka bukan cuma pintar menilai orang lain tapi juga sangat piawai dalam merancang lamunan; jikalau, seandainya dan sesuatu yang tidak pernah mereka kerjakan. Bagi saya mereka adalah orang-orang aneh yang malas.

Pertama; adalah orang yang ingin hidupnya tetap sehat. Bahkan, doanya kepada Tuhan selalu memohon diberikan kesehatan dan panjang umur. Tapi prilakunya justru menyimpang jauh dari apa yang dia mohonkan pada Tuhan. Prilaku hidupnya tidak mencerminkan prilaku hidup sehat. Semisal; merokok, meminum minuman keras, paling doyan buang sampah sembarangan, cuek dengan kebersihan badan dan prilaku lainnya yang menyimpang. 

Memakan barang yang diharamkan atau sesuatu dari hasil pekerjaan yang diharamkan oleh Tuhan; semisal korupsi, maling, judi serta hasil dari menipu tidak akan menyehatkan badan. Jiwa menjadi terguncang, tidak tenang yang pada gilirannya menimbulkan berbagai macam penyakit.

Kedua, adalah orang yang ingin hidupnya selalu senang dan banyak harta. Akan tetapi dia sendiri tidak pernah mau kerja keras. Bagaimana mungkin? Sekalipun minta kepada Tuhan seribu kali dalam sehari, jelas tidak akan bisa. Bukan Tuhan tidak kuasa tapi Tuhan hanya akan memberikan jalan kehidupan bagi orang-orang yang berusaha. 

Orang semacam yang tersebut diatas, disamping malas bekerja juga mempunyai prilaku yang sangat buruk yaitu menyalahkan orang lain bahkan menyalahkan Tuhan. Ketika keinginannya tidak tercapai, timbul sifat iri dan dengki pada orang lain yang telah berhasil. Tidak tanggung-tanggung terkadang orang seperti ini menilai Tuhan dengan mengatakan Tuhan tidak adil. Hah...!!! Padahal dirinya yang tidak adil terhadap dirinya sendiri.

Ketiga, adalah seseorang yang ingin mempunyai keluarga yang baik; istri atau suami dan anak-anak yang baik. Akan tetapi prilakunya tidak mencerminkan kebaikan untuk dijadikan tauladan bagi keluarganya. Kita barangkali sering mendengar ada suami yang gak betah tinggal dirumah, istri yang selingkuh dan anak-anak yang kabur dari rumah.

Artinya ada prilaku yang salah pada anggota keluarga. Biasanya kalau sebuah rumahtangga kondisinya sudah seperti ini paling mudah untuk saling menyalahkan. Prilaku hidup seperti ini seringkali mendera orang-orang yang justru berlimpah harta. Bagaimana mungkin keluarga 'mawadah warahmah' seperti yang diinginkan kalau anggota keluarga tidak tahu peranannya harus berbuat apa, terlebih bagi seorang suami.

Dan......masih banyak hal-hal yang aneh dalam pandangan saya yang tidak bisa saya sebut satu persatu disini. Tapi intinya adalah; TUHAN TIDAK AKAN MERUBAH NASIB PADA SUATU KAUM KECUALI KAUM ITU SENDIRI YANG MAU MERUBAHNYA. 

Keberhasilan apapun bentuknya dan sekecil apapun tidak akan bisa diperoleh hanya dengan mengucap 'sim salabim aba kadabra'. Disamping doa pada yang Maha Kuasa, keberhasilan hanya mampu diperoleh dengan kerja keras dan terus berusaha.***

Minggu, 12 Agustus 2012

Pasar Tumpah Gembong


BUDAYA BURUK
Oleh : Abu Gybran

Tiap bulan puasa seperti halnya tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya, Pasar Tumpah Gembong di jalan Raya Serang km 32, Tangerang, selalu saja macet. Terlebih jika sore hari menjelang berbuka puasa, kemacetan bisa mencapai 2 kilometer.

Kemacetan ini disebabkan oleh banyaknya para pedagang kaki lima yang berjejer hampir menghabiskan separuh lebar jalan. Mulai dari pedagang petasan, pedagang es buah dan pedagang lainnya yang seolah berebut tempat paling depan atau pinggir jalan. Anehnya, saya tidak melihat ada penertiban disana yang dilakukan oleh pengelola pasar atau Pemda terkait. Sehingga pedagang merasa bebas dan sedikitpun tidak merasa bersalah telah membuat kemacetan.

Sebut saja pak Karim, pedagang timun suri, yang saya sempat tanya kenapa dia mengambil lapak berjualan di pinggir jalan? Jawabannya membuat saya tercengang, bahwa dia berjualan di pinggir jalan sudah mendapat ijin dari pengelola pasar. Buktinya dia membayar uang retribusi atau dia menyebutnya uang keamanan kepada petugas pengelola pasar. Nah, lho.....!!!

Makna Puasa
Jika dikaitkan dengan makna puasa yang seharusnya setiap pribadi mampu bertenggang rasa dengan sesama, tentu saja hal ini tidak sejalan dengan ajaran puasa itu sendiri. Dengan berbaik sangka, saya yakin para pedagang dan pengelola pasar atau penguasa Pemda terkait, juga melaksanakan ibadah puasa. Lantas bagaimana dengan pahala puasanya lantaran mereka telah menggangu para pengguna jalan?

Sebagai pengguna jalan yang setiap hari saya melewati jalan ini, saya hanya berharap; para pedagang, pengelola pasar dan Pemda terkait, segera dibukakan pintu hatinya (hehehehe....kaya kultum ramadhan saja) atas budaya buruk yang telah berlarut-larut ini. Kepada pak Polisi Lalulintas dan pemerintah terkait lainnya, segera tertibkan mereka agar tidak lagi terjadi kemacetan.***


Sabtu, 04 Agustus 2012

Cerber : HITAM PUTIH SUMIRAH (3)

Tutur Sumirah
Oleh : Abu Gybran

"Aku, Sumirah. Aku lahir disebuah desa kecil yang jauh dari keramaian, yaitu sebuah desa yang terletak disalah satu kaki Gunung Halimun bagian selatan. Awalnya aku merantau ke Tangerang bekerja sebagai pembantu rumahtangga atau yang lebih populer dengan sebutan babu. Maklum saja aku kan cuma tamatan SMP. Aku bekerja disebuah rumah milik tuan Kiem Lian dari keturunan etnis Tionghoa dari Teluk Naga. Aku biasa menyebutnya dengan kata tuan. Istrinya, sudah lama lumpuh dikedua kakinya. Aku tidak tahu namanya, aku hanya memanggilnya dengan kata nyonya," tutur Sumirah mengawali cerita hidupnya. 

Pengakuannya, hampir setiap hari dia selalu berdua dengan sang nyonya karena keluarga ini tidak mempunyai seorang anakpun. Sementara tuan Kiem Lian selalu berangkat pagi dan pulang sekitar jam 10 malam. Tuan bekerja di toko miliknya di Pasar Anyar, Tangerang. 

Dia sangat betah bekerja dikeluarga ini, terlebih tuan dan nyonya sangat baik kepadanya. Dia sering mendapatkan hadiah atau ampao ketika Hari Raya Imlek. Bahkan dia merasakan seperti tidak perlakukan sebagai babu, tapi seakan sebagai bagian dari keluarga. Entahlah, apakah karena mereka tidak mempunyai keturunan? Pertanyaan seperti ini yang sering mengganggu pikirannya. Tapi dia tidak mau memikirkan hal ini terus, dia tidak mau terjebak apalagi berprasangka buruk. Terlebih kepada tuannya yang tanpa sepengetahuan nyonya sering memberikan uang lebih diluar gaji bulanannya.

"Tuan, ini untuk aku?" tanya Sumirah suatu hari ketika menerima uang dari tuannya, bukan uang gajinya. Dia kerapkali bertanya demikian karena takut uang yang diberikan tuannya itu bukan untuk dirinya tapi uang untuk belanja harian. Jumlahnya cukup besar menurut ukurannya, kadang melebihi gaji bulanannya.

"Ya, untuk kamu, Mirah. Hasil dari keuntungan toko bulan ini cukup lumayan," jelas tuan Kiem Lian. Tuannya memberikan uang itu ketika Sumirah berada di dapur saat menyiapkan makan malam. Sementara si nyonya berada ditengah, diruangan keluarga diatas kursi rodanya sedang nonton televisi. Sumirah melihat ada senyum kecil di bibir tuannya. Dia sempat menatapnya sesaat. Ada perasaan ganjil menyelinap dalam benak hatinya. Sebab bukan sekali atau dua kali tuannya memberikan uang diluar gajinya, tapi sering. Dan dia kerap menyaksikan senyum genit tuannya itu saat memberikan uang padanya.

"Sudah kamu simpan saja uang itu, tapi tolong jangan kamu ceritakan ke nyonya, ya," lanjut tuannya sambil meninggalkan Sumirah di dapur. Sepeninggal tuannya, dia langsung bergegas masuk ke kamarnya untuk menyimpan uang pemberian tuannya itu. Kamar Sumirah terletak dibelakang bersebelahan dengan dapur.

Jam dinding menunjukkan pukul 23:00. Pekerjaan Sumirah baru saja selesai. Waktunya istirahat tidur untuk melepas lelah. Tuan dan nyonya sudah masuk kamar terlebih dahulu. Mereka sudah tertidur. Malam itu hujan cukup deras dan udara menghembus dingin lewat celah-celah lubang angin. Sumirah merasakan seperti mati kehidupan malam itu. Sepi, hanya sesekali terdengar lolongan anjing milik tuannya yang kandanganya terletak disamping rumah dibawah pohon jambu.

Matanya sulit sekali dipejamkan malam itu. Sumirah sulit tidur dimalam hujan itu. Dia masih kepikiran soal uang pemberian tuannya. Menurutnya ada ketidakwajaran. Tapi dia selalu berharap semoga saja tuannya tidak mempunyai maksud lain. Sebab katanya, dia sering mendengar cerita tentang kebaikan majikan terhadap pembantunya sering berujung pada persoalan yang menyakitkan. Terlebih dirinya saat itu baru menginjak usia 19 tahun. Ada rasa takut yang dia tidak bisa pungkiri. "Aku harus bisa menjaga diri," hatinya membatin.

Sampai tengah malam pikirannya menerawang kemana-mana. Dia teringat kedua orangtuanya di kampung. Tidak ada siapa-siapa lagi di rumah itu kecuali kedua orangtuanya. Sumirah memang anak tunggal. Sumirah terpaksa meninggalkan mereka dan menitipkan pada pamannya yang rumahnya bersebelahan dengan rumah kedua orangtuanya.

Dalam penuturannya malam itu dihadapan Ibas, Sumirah terdiam sesaat. Ibas menangkap, betapa Sumirah ingin membahagiakan kedua orangtuanya. Orang yang sangat dia cintai. Sumirah berusaha melepaskan belitan kemiskinan yang senantiasa mengakrabi keluarganya. Makanya dia berusaha mengirimkan sebagian hasil kerjanya tiap bulan untuk kedua orangtuanya. Sumirah berusaha membuat kedua orangtuanya tersenyum.

"Rasanya sangat berat, kang." Sumirah melanjutkan penuturannya. "Ada kepedihan di hatiku saat melihat mereka menangis ketika aku melangkah meninggalkan mereka, terutama ibuku," lanjutnya hampir tak terdengar.  Pikirannya menerawang saat kali pertama dia meninggalkan kampung halamannya.

Malam kian larut, seperti yang diceritakan Sumirah. Seperti malam-malam sebelumnya, tiap kali dia menerima uang diluar gajinya yang diberikan tuannya, matanya selalu sulit untuk diajak tidur. Dia sudah lelah, bahkan teramat lelah. Ada kegelisahan yang menyelimutinya. Namun menjelang shubuh, saat hujan mulai mereda, dia terlelap. Pada tidurnya yang sesaat, dia sempat melihat senyum kedua orangtuanya berkelebat dalam mimpi pendeknya. *** (Bersambung)