Selasa, 09 September 2014

"Maafkan Bapak............."

Oleh: Abu Gybran

Perjuangan Mantan Buruh Pabrik

Sebenarnya saya ingin menuliskan cerita ini layaknya sebuah cerita pendek atau cerpen, tapi rasanya sulit sekali. Tapi saya bersyukur masih bisa menuliskannya dalam sebuah catatan kecil ini.

Kisah yang saya tulis ini merupakan kisah nyata dari seorang mantan buruh pabrik yang kini menjadi buruh gali atau tukang gali kabel optik. Lelaki paruh baya itu sebut saja namanya Sukirman. Sudah hampir dua tahun dia melakoni pekerjaan yang sebelumnya belum pernah dia impikan. Kata 'terpaksa' adalah kata yang pertama saya dengar dari ucapannya.

Membayangkan kehidupannya sebelum dia menjadi tukang gali, tentu tidak separah apa yang dia tengah jalani saat ini. Bukan artinya menjadi buruh pabrik itu enak, sebab hingga kini pun menjadi buruh pabrik itu belum bisa menjadi jaminan hidup layak di hari tua. Tapi setidaknya saat itu dia masih mempunyai tenaga yang boleh dibilang masih kuat. Pendapatan menjadi buruh pabrik jelas tiap bulannya, sementara pendapatan yang diperolehnya dari jasa tukang gali bergantung pada permintaan kontraktor proyek. Kadang satu sampai dua bulan dia tidak mendapatkan pekerjaan.

"Yang paling menyakitkan dalam hidup ini adalah ketika melihat anak saya murung sepulang sekolah. Tanpa anak saya cerita pun, saya sudah tahu kenapa? Mendapat teguran dari pihak guru di sekolah karena selalu lambat dan sering menunda pembayaran iuran Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), sudah menjadi 'langganan' anak saya. Saya hanya bisa menghibur anak saya dengan kata sabar," ungkapnya dengan nada berat.

Anak semata wayangnya sudah duduk di bangku SMU. Tentu memerlukan biaya sekolah yang tidak sedikit menurut ukurannya. Namun dia tetap berusaha agar anaknya tetap bisa sekolah.

Sekali lagi saya membayangkan; andai saja mantan buruh pabrik mendapatkan tunjangan pensiun di akhir masa kerjanya layaknya Pegawai Negeri sipil (PNS), tentu nasib Sukirman tidak separah sekarang ini. Usianya yang hampir mendekati kepala enam harus tetap berjibaku untuk membiayai keluarganya. Padahal tenaganya sudah jauh berkurang. Saya baru menyadari, ada benarnya dia mengucapkan kata 'terpaksa' karena memang faktanya demikian.

Bahkan, katanya; makan untuk keluarganya bukan lagi apa adanya, tapi seketemunya. Isterinya sudah tak berani lagi menghutang sembako di warung tetangga. Khawatir tidak bisa melunasinya. Isterinya jungkir balik mengatur keuangan suaminya sebisa mungkin. Bahkan, menurut pengakuan Sukirman, isterinya sekarang menjadi buruh cuci pakaian di rumah tetangga.

Saya hanya mampu menarik napas panjang mendengar cerita yang dituturkan seorang Sukirman ini. Betapa berat hidup yang harus dijalani di hari tuanya. Mungkin bukan hanya Sukirman, tapi banyak mantan buruh pabrik lainnya yang mengalami nasib serupa. Sukirman hanya salah satu contoh, betapa aturan perburuhan belum bisa memberikan jaminan hidup layak bagi para buruh yang masa kerjanya memasuki usia pensiun. Padahal jika dibandingkan dengan PNS apa bedanya? Sama-sama warga negara dan sama-sama membayar pajak pada negara. Di mana perlindungan negara terhadap mantan buruh pabrik ? Kenapa mereka tidak mendapatkan tunjangan pensiun layaknya PNS ?

Akhir kata, Sukirman meminta maaf untuk yang kesekian kalinya kepada anaknya karena sudah tiga bulan anaknya belum mebayar SPP sekolah. "Maafkan bapak............."  
 

Tidak ada komentar: