Kamis, 16 Oktober 2014

Andai Saya Jadi PNS Bukan Buruh Pabrik

Oleh: Abu Gybran

Tiap menjelang pergantian tahun, Serikat Buruh sibuk mengatur langkah-langkah untuk ikut aktif dalam rancangan kenaikan upah. Disamping keterlibatan perwakilan buruh pada Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota dalam menentukan besaran kenaikan upah, Serikat Buruh terkadang melakukan survei sendiri ke pasar-pasar untuk mengetahui harga kebutuhan pokok utamanya. Kebutuhan Hidup Layak (KHL) merupakan standar yang harus terpenuhi. 

Ritual tahunan ini wajib diikuti oleh buruh. Sebab jika buruh hanya menggantungkan sepenuhnya pada pengusaha terkait dengan kenaikan upah, jangan harap buruh bisa hidup sejahtera. Dan percuma saja ada perwakilan buruh yang duduk di Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota kalau tidak didukung dan dikawal sepenuhnya oleh buruh. Sebagaimana diketahui dalam DPK/K yang terdiri dari tiga unsur penguasa (pemerintah) dengan segala kebijakannya, pengusaha dengan modalnya, sudah lazim kalau mereka bisa menyatu dan terakhir buruh sendirian dengan segala keterbatasannya. Oleh karenanya sangat diperlukan penguatan dari luar. Serikat Buruh atau buruh harus dan terus aktif menyuarakan penolakan terhadap upah murah. Bukan hanya teriakan tapi juga harus didukung oleh data hasil survei pasar dan pendukung lainnya.

Bukan hal yang mudah bagi buruh untuk mendapatkan upah yang layak, saya menyadari betul soal ini. Betapa tidak, perjuangan buruh terjepit di antara dua pusaran yang sangat kuat. Pemerintah dengan segala kepentingannya tentu tidak ingin membiarkan para pemilik modal 'ngacir' ke luar negeri. Apa lagi pengusaha atau pemilik modal tentu ingin mendapatkan keuntungan yang besar. Caranya yang paling mudah adalah tentu dengan menekan biaya pengeluaran upah sekecil dan semurah mungkin. Seperti yang telah sedikit saya singgung di atas, kalau buruh hanya mengandalkan kenaikan upah pada pengusaha yang dekat dengan penguasa itu, tentu buruh tidak akan pernah merasakan upah yang layak.

Coba pikir masuk akal tidak; Ketua Umum Apindo, Softan Wanandi mengatakan bahwa kenaikan upah buruh hanya 1% hingga 3% saja di tahun 2015 nanti. Kenaikan upah sebesar ini, dihantam oleh kenaikan BBM saja di Nopember 2014 ini, upah buruh akan lenyap tanpa bekas.

Buruh turun ke jalan melakukan aksi minta kenaikan upah 30% dibilang sinting? Wajar sebab yang mengatakannya bukan buruh pabrik. Saya, mantan buruh pabrik, bisa merasakan betapa susahnya menjadi buruh pabrik. Terlebih jika buruh diposisikan sebagai mesin produksi sebab hingga kini kebijakan-kebijakan pemerintah belum sepenuhnya berpihak pada pada buruh. Lain halnya perhatian pemerintah pada Pegawai Negeri Sipil (PNS), Polri dan TNI, begitu besarnya. Bayangkan saja betapa enaknya mereka, tidak perlu harus demo minta kenaikan upah. Tahun 2015 yang tinggal dua bulan lagi, pemerintah akan mengalokasikan anggaran sebesar 6 triliun untuk kenaikan gaji pokok dan uang makan bagi mereka. Dimana perhatian pemerintah untuk buruh pabrik yang paling getol membayar pajak pada negara?

Saya yakin bukan kemauan buruh melakukan ritual tahunan, aksi turun ke jalan minta kenaikan upah. Andai saja perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan rakyatnya sama. Buruh itu bukan produk gagal sebagai rakyat, buruh juga punya martabat yang harus 'dimanusiakan'. Kadang saya pun suka berangan-angan; andai saya jadi PNS bukan buruh pabrik, oh, alangkah nyamannya tinggal di Indonesia.

Bukan saatnya berangan-angan dan menyesali yang sudah terjadi. sebab kemuliaan seseorang terletak pada seberapa besar usahanya dalam melakukan perubahan. Kemuliaan Serikat Buruh atau buruh terletak pada pada seberapa besar perjuangannya untuk sebuah perubahan. Bukan diam atau menyerahkan sepenuhnya pada nasib. Sebab diam adalah kematian. SELAMAT BERJUANG BURUH DAN TOLAK UPAH MURAH. ***

        

Tidak ada komentar: