Jumat, 28 Februari 2014

Ini Soal Kita


Oleh: Abu Gybran

Kau telanjangi aku dengan pertanyaan yang berputar-putar
dan aku telah menjawabnya dengan jawaban seperti yang kemarin kau dengar
Tapi kau tak mau berhenti berkata-kata
seperti nyanyian camar di tepian pantai berpasir
Aku mengerti, ada yang ingin kau dapati dari riak-riak ombak yang membentur dinding karang
Kau tak kan mampu untuk menafsirkannya
kau terlalu muda untuk mengerti sepenuhnya, separuh dari perjalananku tak kan mampu kau kejar
Tapi ini soal kita
dimana kita sering membicarakannya

Aku mengalah
memperlambat langkah

Tapi rasanya;  selalu saja ada keraguan yang menjerat
ada isyarat yang kutangkap dari riuhnya camar itu
Aku selalu mencoba  menepisnya dengan segala rasa
mengumpulkan keyakinan yang tercecer, di bawah kaki kita
Membukukannya menjadi satu cerita, soal kita

Kadang kita terperangkap oleh kesombongan kita sendiri
memaksakan, menjejalkan satu bab yang kita anggap bisa mewarnai cerita kita
Kita tahu; bukan saja cerita itu tidak enak dibaca
tapi telah merusak cerita yang sebenarnya, soal kita

Kita sudahi cerita kita
melarungnya di lautan lepas
Lepas, ya lepas. Seperti camar yang terbang bebas

( Tangerang, 28 Februari 2014 )


Kamis, 27 Februari 2014

Tanah Basah di Kaki Kita


Oleh: Abu Gybran

Baru saja reda, kita tidak tahu berapa lama hujan tercurah
Tanah basah di kaki kita, menggambar tiap jejak langkah
yang baru saja kita mulai
Masih ragu dan belum sepenuhnya padu
Aku berusaha mencoba mengerti, memahami tiap kata yang kau utarakan
menafsirkannya menjadi satu pengertian
bahwa kita sungguh-sungguh untuk menapaki jalan yang sudah kita tentukan
arah dan tujuannya.
Terbentang panjang dan kita akan mulai menyusurinya

Tanah basah di kaki kita, menggambar tiap jejak langkah
yang kita tinggalkan

Aku bertanya padamu; "sejauh mana kakimu mampu bertahan?"
Sebab jalan yang kita tempuh bukan jalan biasa
Tapi kita akan melaluinya hingga sampai diujung kaki langit
dimana kita akan menumpahkan segala rasa
Rindu kita.

( Tangerang, 27 Februari 2014 )

Rabu, 26 Februari 2014

Terserah Apa Katamu


Oleh: Abu Gybran

Kemarin sore kita berbincang-bincang disudut sepi
saat hujan mendera mengalahkan suara kita
Berapa kali kau mengulang kata
karena kata-kata terpelanting pada derasnya suara air hujan
aku yang banyak terdiam
aku lebih suka menatap wajahmu ketimbang suara cerewetmu
Denganmu aku lebih suka berbincang tanpa suara
tanpa kata-kata

Terserah apa katamu
Aku suka jika kau sebut aku sudah gila
Aku suka jika kau samakan aku dengan matahari yang sudah condong ke barat
Aku suka sebab kau selalu memperhatikanku
Sekali lagi, aku suka jika kau sebut aku lelaki lebay  
Terserah apa katamu

Bincang kita terhenti, sebab hujan pun telah reda
menyisakan rumput dan tanah basah
menyisakan kata-kata kita
Ada rasa dimana kita telah menerimanya
getar-getar dimana kita mencoba menyatukannya
menjadi satu irama untuk mengiringi langkah-langkah kita
menuju altar persembahan
rindu kita

Terserah apa katamu...........

( Tangerang, 26 Februari 2014 )


Senin, 24 Februari 2014

Aku Menyimpan Rinduku

Oleh:Thity Soekarni




















Irama rindu mengalir sendu dalam ruang kalbu
dibuai hembusan angin kala pagi
meramu
Mencintaimu seakan menjadi penyemangat baru dalam hidupku
dalam setiap langkah dan pijakkan kakiku
Padahal aku tak tahu siapa dirimu

Buaian rindu........
melingkar merantai jiwa
memasungku dalam tulus cintamu
Ah,...padahal aku tak tahu siapa dirimu

Aku benar-benar telah terpasung

Kau
jauh dari pandanganku

Kalangkang......
Tapi bayangmu itu
tak sedikitpun luput dari lenaku
Mencumbuimu dalam balutan rasa tulus
bergumul dalam satu irama
yang mengalir deras dalam darah
Aku rana dalam lingkar rinduku
hanya sebatas harap
Sebab kau hanya ada dalam imajinasi rapuhku
dalam mimpi kemarin malam
aku menyimpan rinduku
dalam lipatan selimut yang sudah aku rapihkan
masih tersisa wangi tubuhmu
Ya, wangi tubuhmu
padahal aku tak tahu siapa dirimu
*** 


(Cilacap, 24 Februari 2014) 



Kamis, 20 Februari 2014

Mahalnya Biaya Politik

Oleh: Abu Gybran

'Bergidik' penulis mendengar mahalnya biaya politik di negeri ini. Betapa tidak, untuk menjadi anggota DPRD saja butuh dana 2 Milyar. Dana sebesar itu dipergunakan untuk biaya kampanye dan sosialisasi ke wilayah dapil untuk menggalang suara. Kalau caleg sekadar modal nekad, rasanya sulit untuk bersaing dengan caleg yang punya modal besar. Suka atau tidak suka, caleg modal nekad harus melewati kondisi ini. Sistem boleh jadi tidak mensyaratkan modal besar untuk pertarungan memperebutkan kursi di DPR, tapi fakta dilapangan tentu akan berbicara lain.

Setidaknya ada dua hal menurut penelusuran penulis yang membuat biaya politik menjadi mahal. Pertama, kesadaran politik masyarakat yang belum merata. Kedua, kurang 'pede' nya para caleg untuk menjual kemampuan dirinya pada masyarakat pemilih. 

Belum Meratanya Kesadaran Politik
Masyarakat umum menganggap bahwa pemilu hanya sekadar pesta demokrasi untuk memilih anggota DPR atau Presiden. Artinya cara berpikir mereka adalah tidak ikut memilihpun tidak berdampak apa-apa pada dirinya. Bahkan memilihpun mereka tidak dapat merasakan apa-apa dari orang-orang yang dipilihnya. Boleh disimpulkan bahwa pelaksanaan pemilu dan setelahnya pun; setelah para caleg dipilih dan mendapatkan kursi, masyarakat merasakan tidak mendapatkan apa-apa kecuali janji-janji yang sudah lewat. 

Lumrah saja, jika masyarakat awam berpikir seperti diatas, karena memang kesadaran politiknya boleh dibilang masih rendah atau belum merata. Sehingga memandang bahwa pemilu bukan merupakan kebutuhan yang harus dilakukannya. Padahal hasil pemilu menentukan baik buruknya kehidupan bernegara untuk 5 tahun kedepan. Masyarakat awan berpikir pemilu berarti mendapatkan uang dari hasil menjual suara. Kondisi ini tentu tidak jadi masalah bagi caleg yang punya modal besar.

Walau politik uang diharamkan, tapi faktanya tentu tidak di lapangan. Adanya istilah serangan fajar, karena memang adanya praktek politik uang. Ada juga anggapan yang keliru tapi seringkali dibenarkan bahkan dianggap benar yaitu: "Ambil uangnya tapi jangan pilih orangnya." Secara tidak langsung kita memberikan pelajaran pertama pada para caleg yang memberi uang untuk melakukan tindak korupsi kedepannya. Karena biar bagaimanapun caleg yang terpilih akan berpikir; modal yang dikeluarkan harus kembali.

Kurang 'Pede' nya Para Caleg
Kurang 'pede', ini hanya istilah penulis saja. Artinya tidak sedikit para caleg yang kurang siap untuk 'nyaleg'. Sehingga untuk menjual dirinya ke masyarakat malah menjadi gagap. Tidak mempunyai kemampuan diri hanya berani karena punya dana-modal besar. Sehingga ketika melakukan sosialisasi kedapilnya yang banyak bicara adalah uangnya. Menyumbang untuk perbaikkan jalan, menyumbang sarana olah raga dan membangun pos kamling  adalah hal yang sering dilakukan oleh caleg yang beruang.

Ongkos politik seperti ini dianggap wajar. Jadi wajar pula jika untuk menjadi anggota DPRD saja para caleg harus punya dana 2 Milyar. Sepertinya penulis tidak akan pernah mimpi untuk menjadi caleg. Kalau hanya modal nekad saja penulis pun tidak sanggup, untuk apa kalau hanya jadi bulan-bulanan politik.***

Minggu, 09 Februari 2014

Upah Buruh Murah (Tetap) Menjadi Buruan Pengusaha

Oleh : Abu Gybran

Saya harus memberikan apresiasi yang tinggi  terhadap pernyataan Menteri Keuangan, Chatib Basri, perihal upah buruh Indonesia. Seperti telah dirilis oleh finace.detik.com belum lama ini, menurutnya selama upah buruh murah, RI jangan mimpi jadi negara maju. Sontak saya berpikir, jika pernyataannya ini benar-benar atas kesadaran dan kepeduliannya terhadap buruh Indonesia, tentu hal ini menjadi sinyal yang baik bagi buruh. Walaupun hal ini baru sebatas pernyataan yang tentu perlu dan ditunggu tindakkan nyatanya. Artinya buruh tidak lantas menjadi puas dan bergantung pada kebijakkan pemerintah dari hal kenaikkan upah. Sebab selama ini kenaikkan upah buruh selalu dan atas tekanan pergerakkan buruh itu sendiri. Seperti sudah menjadi tradisi; kalau mau upah naik, ya harus turun kejalan dulu.

Hingga kini otak saya sulit untuk langsung bisa mempercayai pernyataan Menkeu tersebut. Terlebih pernyataan ini disampaikan di tahun politik menjelang pemilu legislatif dan presiden 2014. Saya menyebutnya sebagai tahun pencitraan bagi orang-orang yang ingin ( kembali ) duduk ditampuk kekuasaan. Lagi pula seberapa besar sih jiwa nasionalisme atau kebangsaan para pengusaha Indonesia khususnya terhadap kemajuan negeri ini? Apalagi terhadap pengusaha asing. Maaf, saya sedang tidak merendahkan jiwa kebangsaan para pengusaha terhadap kemajuan negeri, terlebih kepeduliannya terhadap nasib buruh. Sebab saya yakin tidak semuanya pengusaha itu 'nakal' terhadap buruhnya dengan membayar upah dibawah standar UMK.

Yang ada saat ini, di tahun ini, justru banyak pengusaha yang merelokasi pabriknya ke daerah-daerah yang standar UMK-nya rendah. Itu artinya upah buruh yang murah tetap menjadi buruan paling utama pengusaha ketimbang membayar upah buruh yang lebih tinggi. Tentu akan sangat tidak nyambung jika dikaitkan dengan pernyataan Menkeu tersebut.

Saya sering mendengar alasan pengusaha bahwa kenapa mereka lebih suka membayar upah murah terhadap buruhnya; karena SDM dan tingkat produktifitas buruh masih sangat rendah. Artinya sangat wajar jika upah buruh pun rendah. Padahal justru yang membuat SDM dan produktifitas buruh rendah adalah pengusaha itu sendiri. Sebab bagaimana mungkin buruh bisa menghasilkan produk yang berkualitas jika upahnya saja rendah? Buruh bukan mesin produksi.............

Buruh Harus Tetap Melawan
Jika menggantungkan upah sepenuhnya pada kebijakkan penguasa dan pengusaha, saya berkeyakinan upah buruh sampai kapanpun akan tetap murah. Sebab posisi buruh berada pada dua arus yang nyaris mempunyai kepentingan yang sama. Penguasa berkeinginan menarik insvestor sebanyak mungkin untuk datang ke Indonesia. Biasanya upah buruh yang murah menjadi harga dagangan. Pada sisi yang lain pengusaha tentu berkeinginan menarik keuntungan yang sebesar-besarnya. Nah, apalagi yang menjadi buruan kalau bukan upah murah.

Jika tidak ingin dianggap mesin produksi, buruh harus tetap melawan. Buruh harus terus bergerak untuk memperbaiki nasibnya. Buruh harus terus belajar dan berkeinginan untuk maju. Kedepan buruh harus mampu menunjukkan kualitas dirinya  yang baik sehingga menjadi daya tawar yang tinggi. Sehingga tidak lagi dipandang sebelah mata. Kawan,........saat ini mata dunia sedang tertuju pada perjuangan buruh Indonesia. Tetap semangat, maju terus buruh Indonesia.....!!!***

Selasa, 04 Februari 2014

Taman Cikande; Banjir Jilid Dua

Oleh: Abu Gybran

Cikande, 4/2/2014
Banjir nampaknya akan kembali menjambangi pemukiman Taman Cikande. Hingga tulisan ini diturunkan, air sudah merendam sebagian RT. 10. Itu artinya ancaman banjir untuk kali yang kedua akan kembali dialami oleh masyarakat perumahan ini. Ah......saya sendiri sulit membayangkan, betapa susahnya jika rumah terendam banjir. Yang tergambar adalah bagaimana saya harus menaikkan barang ketempat yang lebih tinggi, itupun hanya barang-barang yang ringan. Kalau tempat tidur, sofa dan lemari direlakan saja berenang.

Sebenarnya yang paling dicemaskan jika sudah banjir adalah menjaga anak-anak. Anak saya paling suka berenang, bahkan bisa seharian. Belum lagi jika anak-anak berenang mendekati arus sungai yang tak jauh dari RT. 08, bisa sangat berbahaya.

Ada Berkah Dibalik Musibah
Bagi masyarakat yang rumahnya terendam banjir, pasti bencana ini dianggap sebagai musibah. Lain halnya dengan para 'pemulung', justru banjir mendatangkan berkah karena banyak barang-barang yang menjadi rongsokkan. Dan saya pun memperkirakan, jika benar-benar banjir jilid dua di Taman Cikande ini terjadi seperti bulan Janusri kemarin, pasti banyak dimanfaatkan oleh para Caleg 2014 berkunjung untuk menarik simpati warga. Mumpung lagi banjir, apa salahnya ;menyelam sambil minum air.......hehehehe...***


*gambar, kondisi saat tulisan ini dibuat 4/2/14
 

Jalan Syekh Mubarok, Cisoka, Rusak Parah

Oleh: Abu Gybran

Cisoka, 4/2/2014.
Belakangan terakhir ini saya disibukan oleh banjir. Bukan hanya rumah yang kebanjiran, tapi hampir tiap jalan yang saya lewati menuju tempat kerja dipastikan terendam banjir pula. Jalan-jalan alternatif pun sama saja, bahkan lebih parah. Bukan hanya tergenang banjir tapi jalan berlubang seperti kubangan kerbau. Contoh Jalan Syekh Mubarok, Cisoka - Tigaraksa, yang mengalami rusak parah. Bahkan kalau malam jalan ini gelap karena minimnya lampu penerangan jalan.

Jalan inipun melintasi sungai, tepatnya dekat perumahan Pesona Cisoka, Kampung Jeungjing. Sudah dua kali saya kejebak banjir dilintasan ini. Air sungai meluap hingga menutup jalan. 

Jalan lintas selatan ini sebenarnya jalan ramai dilalui kendaraan yang menuju ke pusat pemerintahan Kabupaten Tangerang. Dan hanya beberapa kilometer saja dari kota Kabupaten, tapi seperti tak tersentuh oleh dinas terkait untuk segera diperbaiki. Masyarakat sering menanam pohon pisang ditengah jalan yang berlubang sebagai bentuk protes, tapi tetap saja belum terlihat oleh pemerintah daerah Kabupaten khususnya apalagi pemerintah Provinsi Banten.

Jika dalam waktu dekat jalan ini tidak segera diperbaiki, saya percaya, jalan ini akan berubah jadi sungai. Karena jalan ini tidak mememiliki drainase atau saluran air, sehingga air justru mengalir di jalan. Setahu saya masalah inilah yang menyebabkan jalan Syekh Mubarok ini cepat rusak.***