Rabu, 28 Januari 2015

Cerpen: Aku Bukan Janda

Oleh: Abu Gybran

Panggil saja aku Wati. Aku mempunyai seorang anak laki-laki yang usianya baru lima tahun, Doni namanya. Saat aku kerja, Doni aku titipkan pada tetanggaku yang tempat tinggalnya bersebelahan denganku. Rumah petak kontrakan yang aku sebut istana impian. Aku tinggal berdua dengan anakku itu. Sementara ayahnya Doni.......Ach, tidak. Aku tidak mau menyebut namanya. Aku sudah mengubur namanya dalam-dalam. Bahkan mengingatnya pun aku sudah tak mau. Jangan terkejut, bahwa aku tak pernah bersuami tapi akupun tak sudi disebut janda lantaran aku sudah punya anak. Aku bukan janda sebab aku belum pernah menikah dengan siapapun, termasuk orang yang menjadi ayahnya Doni.

Saat aku memutuskan pergi dari rumah orangtuaku, sebuah desa terpencil di kaki Gunung Rajabasa, aku merantau ke daerah Banten di mana aku tinggal saat sekarang ini. Saat itu sudah hamil dua bulan. Tentang kehamilanku, tentu saja kedua orangtuaku tidak tahu. Mereka hanya tahu aku merantau untuk mencari pekerjaan. Aku sengaja tidak pernah menceritakan tentang masalah yang aku hadapi. Tentang hubungan cintaku dengan seorang pria yang aku cintai di mana orangtuaku juga sudah mengenalnya. Ya, aku mencintainya, hingga semua yang aku miliki kuberikan padanya. 

Sebenarnya aku tak mau menceritakan soal ini, saat di mana aku dikhianati. Aku ditinggalkan..........

Dengan berjalannya waktu, aku diterima kerja di sebuah pabrik sepatu. Aku bekerja dalam keadaan hamil yang terus membesar. Aku mengajukan cuti hamil ke perusahaan saat kehamilanku sudah menginjak delapan bulan. Hingga persalinan, sendiri di rumah petak kontrakan. Beruntungnya, tetanggaku ada yang peduli dan menolong memanggilkan bidan. Lahirlah anakku yang kuberi nama Doni. 

Tetanggaku tidak ada yang menanyakan soal suamiku. Mereka tahunya bahwa aku adalah janda yang ditinggal mati suaminya. Seperti pengakuan bohongku saat kali pertama aku tinggal dirumah petak kontrakan yang aku sebut istana impian itu. Ya, istana impian di mana aku berusaha hidup mandiri untuk membesarkan anakku. Jangan tanya soal penderitaan, sebab itu sudah menjadi bagian dari hidupku. Hidup dalam lingkaran kebohongan untuk menutupi aibku. Aku tidak tahu bagaimana menyembunyikan anakku pada orangtuaku jika pada saatnya aku pulang kampung. Duh, aku tidak mungkin meninggalkan anakku. Pernah terlintas untuk menitipkannya di sebuah panti asuhan, tapi naluri keibuanku selalu mengatakannya, tidak. Sebab biar bagaimanapun dia adalah buah dari cintaku. Walau dari sebuah kesalahan yang aku salah dalam memaknai cinta yang sebenarnya. Anakku lahir dari hasil cinta yang terlarang.

***

Dengan pakaian hijab yang aku kenakan saat ini. Aku nampak alim dan anggun, kata sejumlah teman-teman kerja. Tentu saja di antara mereka yang terbanyak adalah laki-laki yang berusaha pedekate terhadapku. Hemmm......andai saja mereka tahu siapa aku yang sebenarnya, mungkin mereka akan menjauh. Aku mengenakan pakaian hijab bukan untuk menutupi betapa hitamnya hidupku. Jujur saja, aku bertobat. Aku ingin mendekatkan diriku pada keagungan Tuhan. Sebisa mungkin aku berusaha melaksanakan segala perintah-Nya. Aku ingin membersihkan lumuran dosa. Seperti hujan yang membersihkan debu-debu yang menempel pada daun kamboja. Terserah apa kata orang, yang jelas aku ingin seperti bunga yang berseri di pagi hari. Menyejukan bagi siapa saja yang melihatnya.

"Cantik, sungguh kamu teramat cantik dengan pakaian hijab itu," kata Ramlan di kantin pabrik saat istirahat makan siang. Aku menanggapinya hanya dengan senyum. Aku sudah hafal dengan rayuan gombal laki-laki. Aku tak mau terjerumus untuk yang kedua kalinya. Aku bukan Wati yang dulu. Banyak hikmah yang bisa aku petik dari perjalanan hidup masa lalu. Masa lalu yang membuatku menjadi dewasa. 

"Ach, biasa saja, mas." Kataku tanpa menoleh padanya yang duduk persis dihadapanku. Sebenarnya aku ingin sekali terlihat judes agar dia berhenti ngegombal. Tapi aku tak bisa. Aku terpaksa sedikit menyungging senyum. Hitung-hitung ibadah, pikirku. Ya, senyum untuk membuat orang senang adalah ibadah, kata guru ngajiku. 

Bukan hanya Ramlan yang sering menggodaku, tapi banyak pula yang lainnya. Tapi tak satupun yang aku tanggapi serius. Aku seperti sudah tak punya cinta. Aku seperti mati rasa untuk persoalan cinta. Entahlah yang jelas aku takut masa lalu itu terulang lagi. Aku hampir tak mempercayai siapapun dalam urusan cinta ini. aku ingin menikmati kesendirianku, toh masih ada Doni anakku yang bisa mengusir rasa sepi itu. 

Doni sudah pandai berkata-kata. Kadang ada kekhawatiran ketika dia bertanya soal ayahnya. Anak seumuran dia memang selalu banyak tanya. Untungnya, dia tak pernah bertanya soal siapa ayahnya. Walau barangkali dia telah merasakan keganjilan itu. Doni selalu bermain dengan temannya, anak tetangga yang tentu selalu bermain bersama ayahnya. Sementara Doni tak pernah merasakan itu. Dia tidak tahu sebenarnya dia pun punya ayah. Sosok ayah yang tak pernah dilihatnya.

Kadang tak terasa air mataku meleleh saat membayangkan Doni bertanya soal ayahnya. Bagaimana aku harus menjawabnya? Duh, Gusti. Aku tak mau anakku menjadi tumbal dari kesalahan yang telah aku lakukan. Biarlah aku saja yang merasakan kepedihan hidup ini. Tapi tidak dengan anakku. Kiranya sudah ribuan kali aku membatin dan memohon pada Tuhan agar diberikan jalan keluar dari segala penderitaan yang aku tutupi dengan kebohonganku. Rasanya ingin sekali aku berteriak agar semua orang tahu bahwa aku adalah perempuan yang telah mempunyai anak tanpa suami. Aku pun ingin menyampaikan pada mereka seterang-terangnya bahwa aku bukan janda sebab aku tak pernah menikah. Namun aku tak sanggup untuk berterus terang pada orang-orang di sekelilingku, termasuk pada orangtuaku. Aku ingin terus menyimpannya, entahlah sampai kapan. Biarlah hanya aku dan Tuhanku yang tahu.

***

Seperti biasa, setiap jam pulang kerja, aku selalu bergegas untuk segera sampai di rumah. Aku tidak mau Doni menungguku terlalu lama dan aku pun tak mau terlalu merepotkan tetanggaku yang ikut menjaga Doni. Untungnya anakku tidak rewel. Barangkali dia sudah dapat memahami keadaan ibunya. Duh, Gusti. Anak sekecil Doni harus ikut terseret-seret dan merasakan kepedihan akibat dari kesalahan masa laluku. Jujur saja, anakku lebih pendiam ketimbang dengan anak-anak yang tumbuh dalam keluarga normal.

 Sesampainya di depan gang jalan masuk menuju rumah kontrakan, aku terkejut melihat Doni sedang duduk dan ketawa-tawa bercanda di depan warungnya Pak Jaka dengan seorang laki-laki yang belum aku kenal. Aku langsung menggendong anakku. Tumben, Doni sedikit agak meronta ketika aku gendong. Rupanya dia meminta untuk duduk lagi.

"Bu, aku mau main lagi sama Om itu," rengek Doni sambil menunjuk laki-laki yang masih duduk di hadapanku
"Hus, sudah sore, sayang. Nanti besok main lagi ya," kataku sambil langsung pamit pada Pak Jaka dan juga pada laki-laki muda yang belum aku kenal itu. Sepintas aku melihat ada senyum tipis di sudut bibirnya. Aku merasakan bahwa dia sedang menatapku ketika aku beranjak meninggalkan warung.

Siapa dia laki-laki muda yang selalu mengajak anakku jajan di warungnya Pak Jaka setiap sore sambil menunggu aku pulang? Jelang satu minggu aku baru tahu namanya, Heryawan, itupun dari Pak Jaka siempunya warung yang juga pemilik rumah kontrakan. Sebenarnya aku tak mau tahu soal siapa dia, tapi aku tak bisa cuwek begitu saja padanya. Terlebih beberapa hari terakhir aku melihat keakraban anakku dengannya. Tidak ada salahnya jika aku mengucapkan terima kasih karena dia telah ikut dan mau menjaga anakku tanpa aku pinta. Karena dia ada niat lain atau tidak, itu bukan urusanku. Sebab kata guru ngajiku; kita tidak boleh berburuk sangka.

"Namaku Heryawan, panggil saja Wawan," katanya memperkenalkan diri di waktu sore yang lain. Ups, jangan salah. Dalam perkenalan itu dia tidak menjabat tanganku. Sebabnya mungkin karena aku berpakaian hijab. Aku tahu perkenalannya itu hanya basa-basi. Biasalah itu, aku sudah hafal di luar kepala kebiasaan seperti itu tak jauh beda dengan kebiasaan laki-laki lain di tempat kerja yang berusaha mendekatiku.

Heryawan memang baru satu minggu tinggal di rumah petak kontrakan yang berderet. Dia menempati rumah  paling ujung. Aku tidak tahu dia kerja atau tidak. Sebab setahuku semua penghuni rumah kontrakan rata-rata adalah pekerja. Dan sebagian besar adalah pekerja atau buruh pabrik. Yang aku tahu soal dia adalah setiap aku pulang kerja sore, dia sudah berada di rumahnya. Pak Jaka juga belum pernah cerita, padahal biasanya dia selalu tahu tentang siapa penyewa rumah kontrakannya.

"Terima kasih, ya, telah ikut menjaga Doni. Maaf kalau Doni suka merepotkan," kataku.
"Ya," jawabnya singkat.

Waw....! Aku terkejut mendengar jawaban singkatnya itu. Kali ini aku keliru menilainya. Sebab biasanya laki-laki itu kalau sudah diberi lampu hijau langsung kege-eran. Tapi tidak dengan Heryawan. Dia malah banyak diamnya ketimbang bicara. Apa karena ia merasa usianya lebih muda dariku sehingga merasa segan walau hanya sekadar bincang-bincang biasa. Atau ini hanya trategi saja untuk menarik rasa simpatiku? Sebab yang aku tahu laki-laki itu banyak akalnya kalau soal urusan perempuan. Terlebih yang dia sudah tahu dari tetangga bahwa aku hanyalah seorang janda dengan anak satu. Walau sejatinya, sekali lagi; aku bukan janda. Jangan tanya sampai kapan aku akan membantah soal statusku ini. Sampai nanti, sampai pada batasnya aku sanggup dan mempunyai kekuatan untuk menjelaskannya pada semuanya.

***
Seiring berjalannya waktu. Kedekatanku dengan Heryawan tak terbantahkan lagi. Sebenarnya aku sudah berusaha untuk menghindarinya. Tapi apalah dayaku ketika aku melihat keseriusannya untuk menikahiku. Dan itu diucapkannya tidak hanya sekali tapi berkali-kali. Jujur saja aku tersiksa menghadapi masalah ini semua. Seperti dihimpit dua batu besar, aku benar-benar tersiksa. Aku berhadapan dengan keraguan yang selalu menjegal. Ya, aku masih ragu dan tidak yakin dia bisa menerimaku apa adanya. Terlebih jika dia tahu statusku yang tidak jelas.

Aku memohon pertolongan Tuhan berkali-kali agar dibebaskan persoalan yang menyiksa batin ini. Aku tidak dan belum mempunyai keberanian untuk berterus terang pada Heryawan. Pikirku saat itu, syukur kalau dia bisa menerimaku apa adanya tapi jika tidak......? Bukan hanya dia tapi pasti orang lain juga akan tahu siapa aku yang sebenarnya. Sebab aku tak bisa menjamin dia bisa tutup mulut tentang siapa aku. Aku tak sanggup membayangkan status baru yang bakal disematkan padaku; janda bukan perawan juga bukan.

Aku pasrah. Aku kembalikan dan memohon pertolongan Tuhan. Dalam keheningan malam, di saat Doni terlelap tidur, dalam shalat tahajud aku berusaha berdialog dengan Tuhan agar dimudahkan dalam menghadapi masalah ini. Aku memohon keberanian untuk mengatakan semuanya pada Heryawan. Besok pagi, semoga aku dapat melihat lengkung senyum pagi dari orang yang kukagumi.***

            

Selasa, 20 Januari 2015

Upah Murah (Tetap) Menjadi Buruan Pengusaha (2)

Oleh: Abu Gybran

Beberapa tahun yang lalu saya pernah menulis tema yang sama, bahwa kecenderungan pengusaha selalu ingin membayar upah buruhnya dengan murah. Banyak alasan yang dikemukakan terkait dengan hal ini di antaranya adalah produktivitas buruh yang katanya cenderung tidak meningkat dan berkurangnya order. Bahkan ada pula dan ini lazim dilakukan pengusaha yaitu merelokasi pabriknya ke daerah yang basis upahnya masih rendah, seperti ke Jawa tengah.

Tahun ini setidaknya sudah ada 104 perusahaan di Banten mengajukan penangguhan UMK 2015 ke Disnakertrans Provinsi Banten dan 97 perusahaan diantaranya telah mendapatkan persetujuan penangguhan. Ini artinya bahwa buruh atau Serikat Buruh yang ada di perusahaan itu telah ikut menyetujui penangguhan UMK 2015 tersebut. Sebab sebagaimana diketahui salah satu sebagai syarat disetujuinya penangguhan upah harus ada persetujuan dari buruh atau Serikat Buruh di perusahaan tersebut. Hanya pertanyaannya; apakah buruh tahu tentang kondisi 'dapur' perusahaan yang sesungguhnya? Sebab sudah biasa jika pengusaha ditanya soal 'dapur'nya selalu bilang perusahaan sedang rugi. Dan nyaris tidak ada perusahaan yang terbuka soal kondisi keuangannya kepada buruhnya.

Buruh Harus Cerdas dan Peduli
Dalam menyikapi masalah penangguhan UMK 2015 ini, buruh atau Serikat Buruh harus punya kemampuan menganalisa kondisi neraca keuangan perusahaan. Dan ini merupakan sebuah keniscayaan bagi Serikat Buruh utamanya agar tidak dibohongi oleh pengusaha yang nakal. Dan harus peduli tidak asal tanda tangan sebelum mendapatkan data yang benar-benar valid soal kondisi keuangan perusahaan. Artinya cerdas saja tidak cukup tanpa dibarengi adanya kepedulian untuk mendapatkan keadilan.

Saya yakin buruh sudah cerdas saat sekarang ini, tapi soal kepedulian untuk memperjuangkan hak upah bersama barangkali harus ditingkatkan. Bukan hanya demo bareng-bareng dan teriak bareng-bareng menuntut kenaikkan upah tapi manakala perusahaan mengajukan penangguhan upah hanya diam dan tak berkutik. Bukan tanpa alasan saya menyatakan soal ini bahwa buruh masih takut di PHK. Sehingga ketika perusahaan menyodorkan dua pilihan; mau kerja terus dengan upah yang telah ditentukan perusahaan atau PHK. Saya yakin ketika buruh dihadapkan pada dua pilihan ini, buruh masih lebih banyak memilih kerja terus walau dengan upah di bawah UMK sekalipun. Alasannya cari kerja itu susah. Kelemahan buruh ini tentu saja amat disukai oleh pengusaha. 

Buruh atau Serikat Buruh harus mempunyai kesadaran bahwa kecenderungan pengusaha itu kalau tidak merelokasi pabriknya ke daerah yang basis upahnya rendah atau berusaha sebisa mungkin untuk membayar upah murah pada buruhnya. Kedekatan pengusaha terhadap penguasa memudahkan mereka untuk membuat kebijakan yang tidak pro buruh. Makanya jangan aneh kalau setiap tahun ada saja perusahaan yang mengajukan penangguhan upah. Artinya upah murah (tetap) menjadi buruan pengusaha.


Sabtu, 17 Januari 2015

PHK Karena Efisiensi, Keliru

Oleh: Abu Gybran

"PHK massal sedang berlangsung di pabrik sepatu PT. Nikomas Gemilang devisi puma di Serang", kata seorang teman yang bekerja di sana. Menurutnya, perusahaan mem-PHK buruhnya karena alasan efisiensi untuk mengurangi beban ongkos perusahaan karena berkurangnya order. Efisiensi.......? Tapi kenapa buruh yang jadi korban? Apa tidak ada cara lain selain mem-PHK buruh? 

Terus terang saya terkejut, ketika saya mendengar dan mengetahui persoalan yang tengah dihadapi oleh para buruh yang bekerja di pabrik sepatu yang berada di Serang itu. Betapa tidak, di Serang, saya banyak mengenal para aktivis Serikat Buruh di sana yang mempunyai keuletan dalam memperjuangkan anggotanya dari berbagai macam perselisihan dengan perusahaan. Tapi hingga saat tulisan ini saya buat, saya hanya mendapati sedikit perlawanan dari beberapa buruh perempuan yang berusaha menolak PHK. Dan itu pun saya melihat mereka hanya di media sosial, Facebook.

Oke, dalam tulisan ini saya tidak akan memperbincangkan soal Serikat Buruh yang ada di sana, lagi pula bukan kapasitas saya untuk mempertanyakan keberadaan mereka. (Tahu diri, saya kan cuma tukang ojek....hehehe)

Sebagai mantan buruh pabrik yang juga korban PHK. Sedikit saya ingin memberikan 'obat penenang' kepada kawan-kawan buruh yang akan di PHK atau mungkin juga sudah ada yang di PHK. Maaf, saya tidak bermaksud menggurui. Tapi saya melihat masih ada celah bagi para buruh untuk memenangkan perselisihan ini. Artinya masih ada kesempatan bagi buruh agar terhindar dari rencana PHK massal ini.

Saya yakin dan percaya perusahaan melakukan PHK massal dengan alasan efisiensi berdasar pada dalil Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13/2003 Pasal-164 Ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut: "Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaab masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)."

 Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 19/PUU-IX/2011 perihal Pengujian Undang-Undang no. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD RI Tahun 1945 bahwa;

1. Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan BERTENTANGAN dengan Pasal 28D ayat (2) UUD RI Tahun 1945 sepanjang frasa "perusahaan tutup" tidak dimaknai 'perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup untuk tidak sementara waktu.

2.  Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada frasa "perusahaan tutup" TIDAK MEMILIKI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT sepanjang tidak dimaknai "perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup untuk tidak sementara waktu.

Nah, saya kira buruh yang diancam PHK oleh perusahaan dengan alasan efisiensi bisa berlindung pada Keputusan MK tersebut. Kecuali perusahaan tutup secara permanen.

Sebenarnya perusahaan melakukan efisiensi itu sah-sah saja untuk menyelamatkan perusahaan agar tetap bisa berjalan. Tapi tidak dengan serta merta langsung mem-PHK buruh sebelum melakukan tindakan yang lain seperti mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur, mengurangi shift; membatasi/menghapuskan kerja lembur; mengurangi jam kerja; mengurangi hari kerja; meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu; tidak memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya; memberikan pensiun bagi pekerja yang sudah memenuhi syarat. Karena pada hakikatnya tenaga kerja harus dipandang sebagai salah satu aset perusahaan, maka jika hanya efisiensi saja bukan karena penutupan perusahaan secara permanen, maka efisiensi semacam ini adalah sebuah kekeliruan yang tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan PHK.***

Photo;Nurul Poetry Galileo
"Pinjem gambarnya ya, neng....."

Selasa, 13 Januari 2015

Jendela Tak Berpintu

Oleh: Abu Gybran

















Bukan salah hujan ketika menerobos masuk lewat jendela
Jendela tak berpintu yang lama kesepian
Angin pun bebas masuk mengacak-acak isi ruangan
Ruang pengap diam dalam kebisuan

Jendela tak berpintu dan ruang pengap diam dalam kebisuan
Masa lalu berserakan dibiarkan tergeletak
Menyatu dalam sepi
Ditikam masa lalu yang menyakitkan

Pada dinding kusam, namamu masih terbaca samar
Ada ribuan tertoreh cerita tentang kita
Bahkan di sudut ruang masih menyisakan wangi tubuhmu
Satu dari pakaian tidurmu masih tergantung di kastok yang sudah rapuh

Bukan salah hujan dan tidak pula salah angin
Ketika kita terlempar jauh oleh keangkuhan
Kita telah kehilangan kepakkan sayap-sayap cinta
Kita adalah jendela tak berpintu itu.

(Tangerang, 13 Januari 2015)  

Minggu, 11 Januari 2015

Panjang Maulid RT.08 Taman Cikande

Oleh: Abu Gybran

Cikande, Tangerang (11/1)

Untuk kali pertama perayaan Panjang Maulid ada di Perumahan Taman Cikande. Kepanitiaan yang dibentuk oleh warga RT. 08 yang diketuai oleh Ustadz Hajiji dalam rangka memperingati Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW itu menarik untuk dilihat. Ya, menarik. Sebab bukan hanya nilai syi'ar Islam yang ada di dalamnya, tapi juga sebagai hiburan bagi masyarakat. Panjang maulid merupakan budaya masyarakat Banten, khususnya bagi masyarakat Serang. Untuk di daerah lain di Banten perayaan ini akan sulit dijumpai.

Panjang maulid atau disebut juga dengan 'ngeropok', mempunyai makna secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai 'ngeriung' atau kumpul-kumpul. Tapi secara umum panjang maulid diartikan sebagai bentuk sesajian yang disusun dalam (kerangka) perahu-perahuan atau kapal-kapalan yang memanjang. Dalam masyarakat Jawa tradisi ini disebut dengan 'gunung-gunungan'. Panjang maulid ini berisi berbagai macam makanan hingga sepatu, sandal, pakaian, sajadah, sarung yang dimuat pada kapal-kapalan tersebut. 

Uniknya, panjang maulid ini diarak keliling kampung dengan iringan musik rebana atau marawis. Kegembiraan masyarakat bisa terlihat dari iring-iringan yang mengikuti acara ini. Biasanya setelah panjang maulid selesai diarak, maka sesajian akan dibagikan pada masyarakat utamanya adalah makanan. 

Panjang maulid merupakan salah satu tradisi masyarakat Banten yang hampir tenggelam ditelan zaman. Tokoh masyarakat asli Banten seperti Ustadz Hajiji juga warga RT.08 Perumahan Taman Cikande yang berusaha menghidupkan kembali tradisi ini patut mendapatkan acungan jempol. Selamat untuk warga RT.08 atas upaya yang telah dilakukan. ***           

Rabu, 07 Januari 2015

Tarian Hujan di Akhir Desember

Oleh: Abu Gybran

















Belum mereda, masih menari hujan bersama angin
saat senja di akhir Desember
Banyak resah berkeliaran dalam hati yang melemah
Sulit dibedakan apakah hanya sekadar ujian atau kesalahan dalam menentukan pilihan?
Keputus-asaan kerap datang menyapa; sudah tidak ada harapan
Sudah habis tergerus keruhnya air ke arah hilir
Dibalik hujan, kusampirkan sepotong doa
Tuhan, sisakan sedikit saja napasku untuk menyelesaikan pekerjaan tertunda
Melukis lengkung senyum mereka yang berlindung di bawah telapak tanganku
Duh...aku jumawa !
Betapa mereka terlunta.
Dalam catatan mendekati penghujung jalan aku tersadarkan.

Tarian hujan di akhir Desember
Melukai hati tanpa ampun. Menghujam tajam tusukan pisau masa lalu
dalam balutan nafsu yang menipu. Duh....aku telah tertipu !
Kiranya memang pantas disematkan pada diri atas segala kejumawaan
Kesombongan, keangkuhan dan hitamnya jiwa dalam lumuran dosa
Basahi dan hujani aku.
Melarung kesialan pada keruhnya air ke arah hilir

Ini adalah akhir laku kesombongan, semoga
Saat hujan terhenti tak ada lagi ringis karena menahan dalamnya luka
Berdamai dengan diri
Memaknai tiap lembaran-lembaran yang sarat dengan guratan masa lalu
Melalui jendela kayu yang merapuh
Menatap hujan yang didera gelisah, melepaskan segala beban
Melarungkan amarah dan kesombongan
Pada air hujan yang mengalir ke hilir
Menapak pada jalan bijak sebagai upaya terakhir
memuliakan diri yang telah luluhlantak
Menikmati sisa nafas yang masih tersisa
dalam tarian hujan di akhir desember..

(Tangerang, 7 Januari 2015)