Kamis, 19 Maret 2015

Perempuan di Pesisir Selatan

Oleh: Abu Gybran



Teluk Penyu saat senja merangkak
Kilau cahaya yang merona memantul pada debur ombak
Ada perempuan muda berdiri mematung tak bergerak
di tepi pesisir selatan
Gejolak batin terdampar pada getir kehidupan
Telah lama mati rasa padahal saat itu kaki menginjak pasir basah
Mengharap berkah
Pada bulan suro batin mendesah melangitkan seribu doa
Duh, gusti. Di mana harus kuletakan tumpukkan dosa?

Kerlip lampu perahu nelayan kembali dari melaut
Sekeranjang ikan dibawa pulang
Tatapan nelayan tua menggetarkan jiwa, menyapa
Perempuan muda masih berdiri dalam remang cahaya

Kembali,
sang surya kembali keperaduan
Jiwa menangkap isyarat alam dalam putaran
Terang dan gelap bergantian
Naik dan turun perjalanan
Hitam dan putih kehidupan

Melarung dosa di laut tanpa batas
Meyakini bahwa ampunan-Nya juga tak terbatas
Jiwa yang kering meranggas
Tumbuh tunas ketentraman yang pernah terpangkas
Syahwat yang mengganas menggilas
akal sehat yang menjauhkan jarak
Aku yang tercampak

Perempuan muda tak lagi berdiri sendiri
Sebab angin laut, pasir basah, debur ombak dan malam yang syahdu
Melebur dalam jiwanya, ketenangan telah didapatkan
Senyap dalam pelukan Tuhan.

(Tangerang, 19 Maret 2015)      


Rabu, 11 Maret 2015

Cerpen: Gaji Terakhir untuk Istri dan Anakku

Oleh: Abu Gybran

Panggil saja aku Sunarto. Aku bekerja disebuah pabrik yang memproduksi benang di sebuah Kawasan Industri Tangerang. Sudah tujuh tahun aku menjalani hidup menjadi buruh pabrik, tepatnya setelah aku menikah dengan gadis pujaanku. Aku bahagia terlebih setelah anak pertamaku lahir. Walau jarang bertemu dengan keluargaku, karena mereka tinggal di kampung, tapi rumah tanggaku berjalan normal-normal saja. Istriku sangat memahami kondisiku sebagai buruh pabrik. Sebagai suami, aku sangat beruntung.

Gajiku tidak besar, bahkam boleh dibilang pas-pasan. Hanya cukup untuk membiayai makan keluarga kecilku. Itu pun aku sudah menghemat luar biasa. Betapa tidak, terkadang makan saja hanya sekali yaitu pada istirahat makan siang. Aku melakukan itu semua agar bisa mengirim uang lebih besar buat istri dan anakku.

Banyak teman-teman sekerja yang memperhatikan cara-caraku menghemat gaji dengan mengurangi porsi makanku. Bahkan di antara mereka mengatakan bahwa aku sangat ngirit hingga tak memperhatikan kesehatanku sendiri. Aku menyadari hal ini, tapi hanya dengan cara ini aku ingin membahagiakan keluargaku. Sungguh lebih baik aku yang merasakan kegetiran dalam hidup ini dari pada istri dan anakku. Aku mencintai mereka dengan segala keikhlasanku. Kebahagiaan yang tiada tara saat aku mampu membuat mereka tersenyum.

Hari terus berjalan menuliskan ceritaku, kesungguhan dan keikhlasan yang aku perjuangkan demi keluargaku yang terkadang bahkan sangat tak memperhatikan lagi kondisi kesehatanku, pada gilirannya aku roboh juga. Aku sakit. Aku didera sakit kepala yang tiada tara sakitnya. Sudah hampir dua minggu aku tidak mampu bekerja. Dan aku tidak memberitahukan keadaan sakitku pada istriku. Aku tidak mau istriku dibebani pikiran macam-macam.    

Beberapa bulan terakhir ini istriku sering menghubungiku melalui hp. Dia menyampaikan bahwa biaya hidup makin tinggi terlebih anakku sudah mulai memasuki sekolah Taman Kanak-kanak (TK). Sementara uang yang aku kirim tiap bulannya sudah mulai kedodoran alias jauh dari pada cukup. Aku memahami semuanya tapi kemana lagi aku harus mencari uang tambahan? Disinilah aku merasakan betapa pusingnya aku menjadi seorang suami. Aku merasakan tekanan yang begitu berat bukan hanya ditempat kerja tapi juga kondisi keluarga yang menjadi tanggung jawabku.

Aku belum sembuh total dari sakitku, tapi aku paksakan untuk mulai bekerja kembali. Aku tidak mau berlama-lama di tempat tidur. Masih lemas sebenarnya, untuk berjalan saja rasa-rasanya aku harus sedikit menyeret kakiku yang terasa berat. Tapi ketika wajah istri dan anaku membayang, aku seperti mempunyai kekuatan untuk melawan rasa sakit. Aku harus tetap bekerja.........

***

Kalau saja aku mempunyai keahlian lain selain menjadi buruh pabrik, mungkin aku tidak akan merasakan kesulitan yang dirasa berat ini. Aku ingin mencoba usaha sampingan yang aku rasa bisa, seperti menjadi tukang ojek. Tapi dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk membeli sepeda motor? Sebenarnya banyak teman yang menyarankan agar aku mengkredit motor. Tapi lagi-lagi aku mengukur pengahasilanku. Artinya selama tiga tahun gajiku harus rela dipotong untuk membayar kreditan motor dan selama itu pula uang yang aku kirimkan untuk istri dan anakku berkurang. Sementara istriku sudah berkali-kali meminta kiriman uang lebih karena kebutuhan hidup terus meningkat. Duh, gusti.......!!! Kadang aku hanya membatin menghadapi kesulitan ini.

Aku harus menghemat bagaimana lagi? Bahkan beberapa bulan terakhir ini bukan hanya porsi makanku saja yang aku kurangi, kebutuhan untuk mandi pun sudah tak terpikirkan lagi. Mandi saja aku sudah tidak menggunakan sabun mandi. Bahkan odol untuk sikat gigi, sampai gepeng aku urut-urut untuk mengeluarkan isinya, sudah tak bersisa.

Sepertinya kesulitan belum mau beranjak dari kehidupanku. Memasuki 8 tahun usia perkawinanku, istri dan anakku masih tinggal di rumah mertua. Sebenarnya aku sudah malu sama mertua karena aku belum bisa mempunyai rumah sendiri. Mempunyai rumah sendiri masih sebatas impian. Jangankan rumah, terkadang istriku masih meminta subsidi beras pada orangtuanya jika kiriman uang dariku tidak mencukupi untuk kehidupan sebulan. Aku bersyukur pada Tuhan karena mempunyai mertua yang baik. Tapi sampai kapan aku harus terus bergantung pada kebaikan mereka? Sudah ribuan kali aku melangitkan doa pada Tuhan agar segera dilepaskan dari kesulitan hidup ini. Dan ribuan kali juga aku berusaha menepis rasa putus asa dalam diri ini. Aku berusaha untuk tetap tegar dalam menghadapi semua ini. Hidup adalah pilihan dan aku tidak menyesal menjalani kehidupan yang telah aku pilih. Walau menjadi buruh pabrik sebenarnya bukan dari cita-citaku.

"Kerja apa pun yang penting halal," kata istriku dulu ketika baru beberapa bulan menikah. Aku masih mengingatnya dengan baik. Aku memang bersalal dari keluarga yang sangat sederhana. Bahkan sebagai maharku untuk istriku saat itu hanya seperangkat alat shalat yang bisa aku berikan. Jangan membayangkan ada pesta perkawinan ketika aku menikah sebab itu tidak ada. Hanya selamatan kecil yang dihadiri oleh beberapa keluarga terdekat.

***

Kerjaku mulai tidak normal karena sering didera sakit. Sementara di pabrik, manajeman tengah melakukan pengurangan tenaga kerja. Bayang-bayang pemecatan tengah menghampiriku. Terlebih aku hanya sebagai buruh kontrak ditambah dengan seringnya tidak masuk kerja karena sakit, sudah pasti aku termasuk buruh yang bakal dipecat. Aku pasrah. Walau sebenarnya aku ingin tetap bekerja.

Benar saja, dugaanku tidak salah. Aku dipecat. Kiranya gaji bulan Desember di penghujung tahun adalah sebagai gaji terakhirku. Tanpa uang pesangon sebab aku hanya sebagai buruh kontrak. Aku hanya diberi uang kebijakan perusahaan yaitu separuh dari gajiku. Sebenarnya aku ingin protes terhadap kebijakan perusahaan, tapi aku tidak tahu sebab aku tidak memahami aturan ketenagakerjaan. Lagi, aku pasrah menerimanya.

Sore, saat gerimis. Langkahku gontai keluar dari pintu gerbang pabrik. Tak jauh dari pabrik aku menuju sebuah Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yang berada disebuah mini market. Hampir seluruhnya aku kirimkan gaji terakhirku untuk istri dan anakku. Aku hanya menyisakan sedikit uang untuk membayar rumah kontrakan dan kebutuhan lainnya. Sebab aku tidak berniat untuk pulang. Aku harus mencari pekerjaan lain lagi. Istriku tidak boleh tahu kalau aku sudah berhenti kerja. Walau tidak mudah aku akan berusaha untuk mendapatkan pekerjaan baru.

***

Sudah seminggu setelah berhenti kerja, aku belum mendapatkan pekerjaan lagi. Sudah banyak perusahaan yang aku datangin untuk melamar kerja. Tapi hasilnya belum ada. Ada beberapa orang, mungkin seorang calo yang menawariku pekerjaan tapi harus dengan imbalan. Ya, imbalan yang jumlahnya menurutku tidak sedikit. Aku uang dari mana? Duh, gusti. Untuk mendapatkan pekerjaan kenapa harus beli? Aku hanya bisa membatin.

"Susah, mas, cari kerja kalau tidak pake uang zaman sekarang," kata seorang calo yang menemuiku. Aku hanya tersenyum getir. Sudah edan, pikirku, untuk mendapatkan pekerjaan saja harus bayar. Aku tidak boleh menyerah pada keadaan. Aku harus tetap berusaha sebab istri dan anakku harus makan.

Waktu terus berjalan tanpa kompromi. Aku tidak tahu harus memberikan alasan apa pada istriku karena yang jelas aku belum bisa mengirimkan uang lagi. Aku masih menganggur. Bahkan hutang di warung makan yang tidak jauh dari rumah kontrakan, setiap hari makin bertambah. Ingin rasanya aku pulang saat itu berkumpul dengan keluargaku. Sangat jarang aku berkumpul dengan mereka. Aku sangat merindui mereka. Bahkan saking jarangnya berkumpul dengan mereka, rasa-rasanya aku sudah lupa cara memeluk istri dan anakku.

Kondisi kesehatanku benar-benar ambruk. Untuk meredakan sakit kepalaku, aku tidak bisa berobat ke klinik dokter. Hanya meminum obat dari warung. Bahkan kata pemilik rumah kontrakkan, Haji Lukman, aku pernah tidak sadarkan diri. Dalam kondisi seperti itu, yang terbayang di kepalaku adalah keluargaku. Aku tidak bisa menggerakkan badanku, rasanya berat sekali. Yang aku lihat seperti berputar. Aku hanya mampu berbaring tak berdaya. Memohon kesembuhan terus aku pintakan pada Tuhan. Aku tidak mau mati sendirian di rumah kontrakkan. Awalnya aku tidak mau memberitahukan keadaan sakitku pada istri. Tapi pendirianku jebol juga sebab aku merasakan sakit yang luar biasa. Aku khawatir bahwa usiaku tidak lama lagi. Walau aku tahu bahwa mati dan hidup itu ada di tangan-Nya. Melalui pesan singkat atau SMS aku menyampaikan keadaanku pada istriku;

"Mah, bulan ini aku tak bisa berkirim uang. Aku sudah di pehaka dari pabrik bulan kemarin. Uang yang aku kirimkan bulan kemarin, itu adalah gaji terkahir. Saat ini aku sedang berbaring sakit. Aku mohon doamu agar aku cepat sembuh dan bisa untuk mendapatkan pekerjaan kembali. Sampaikan salam kangenku pada anak kita............." 

Selesai mengirim pesan itu, aku merasakan dunia menjadi gelap. Selanjutnya aku seperti berada pada dunia lain, dunia yang tidak pernah aku kenal. Dunia yang terang benderang. Rumah-rumah mewah seperti istina dengan segala keindahan tamannya, aku dapat melihatnya dengan jelas. Seperti dalam khayal. Masyarakatnya yang ramah dengan lengkung senyum yang selalu menyungging menyambut kehadiranku. Aku seperti tamu agung yang sangat dihormati. Aku menuju sebuah istana megah dan di pintu depan istana itu aku melihat istri dan anakku sedang menunggu kedatanganku. Bahagianya aku, kerinduanku membuncah saat itu. Terima kasih Tuhan. ***


Senin, 02 Maret 2015

Kesahku

Oleh: Abu Gybran

Tuhan...........
Jiwa dan raga ini adalah milik-Mu
Aku hidup hingga kini itu karena kehendak dan kuasa-Mu. Aku tidak tahu batas hidup yang telah Kau berikan. Aku hanya tahu dan merasakan bahwa nafasku masih bersamaku.
Maafkan jika aku belum bisa menjawab pertanyaan jiwaku; apakah aku bahagia?  
Seperti halnya burung-burung yang terbang jauh dan kembali ke sarangnya dengan senang.
Juga seperti halnya bunga-bunga yang mekar indah dipandang
Rerumputan yang terhampar menghijau, gemercik air pancuran bambu di kaki bukit berbatu
dan lengkung senyum pelangi di saat senja. Mereka bahagia.

Ajari aku untuk bisa bahagia seperti mereka tanpa kesah ketika mata terbuka
dan tanpa ketakutan ketika mata terpejam.

Tuhan..........
Jiwa dan raga ini adalah milik-Mu
Aku telah memilih jalan hidup yang telah aku pilih. Berharap mendapatkan makna dari bahagia bagi jiwa yang meronta meminta. Jauh hingga kaki tak sanggup lagi melangkah karena letih
Bahkan aku tak tahu lagi harus mencari kemana. Aku telah menghabiskan separuh abad usiaku dalam pencarian
Padahal bahagia itu sederhana. Seperti halnya yang aku lihat pada burung-burung yang terbang, bunga-bunga yang mekar, rumput yang menghijau, air yang gemercik dan pelangi yang selalu tersenyum. Tapi dimana letak bahagia bagi jiwaku?

Ajari aku untuk bisa bersyukur seperti mereka tanpa kesah ketika mata terbuka
dan tanpa ketakutan ketika mata terpejam.

Tuhan........
Jiwa dan ragaku adalah milik-Mu
Aku telah memberikan persembahanku pada-Mu. Tunduk dengan segala keikhlasan bahwa tidak ada yang wajib disembah kecuali Allah. Dan aku hanya memohon pertolongan hanya kepada-Mu.
Hilangkan kesahku dan lenyapkan ketakutanku
Aku ingin bahagia dalam menghabiskan sisa-sisa nafasku
Kalau pun aku tak menemukannya di dunia,
tapi dengan berbekal persembahanku yang tak seberapa, aku berharap syurga pada akhirat-Mu.
Amin.

(Tangerang, 2 Maret 2015)