Selasa, 02 Desember 2014

Menaker Tak Memahami Ketenagakerjaan?

Oleh: Abu Gybran

Benar adanya; Jika amanat (jabatan) diberikan pada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. 

Dalam catatan saya kali ini, saya tidak sedang mengancam agar sepak terjang Menaker yang baru seumur jagung ini segera menemui kehancurannya. Hanya sangat disayangkan pernyataannya terhadap kenaikan upah buruh seakan lebih berpihak pada pengusaha ketimbang buruh yang semestinya mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah.

Dalam acara pertemuan dengan Apindo di Kuningan, Senin 1 Desember 2014, dalam pembukaannya Menaker, Hanif Dakhiri berpendapat bahwa penetapan upah di Indonesia cenderung tidak seimbang, menurutnya, penuntutan hanya dibebankan pada pengusaha saja, namun tidak ada tuntutan untuk prodiktivitas kerja. Menaker juga berpendapat bahwa selama ini tuntutan upah yang diajukan pekerja atau buruh tidak realistis. Dia membandingkan upah minimum buruh lebih besar ketimbang upah minimum PNS golongan 3A.

Saya tidak tahu apa yang sedang berkecamuk dalam pemikiran pak Menaker, apa karena baru jadi menteri atau memang tidak memahami soal seluk beluk ketenagakerjaan. Tapi dia merasa dituntut untuk tampil menyelesaikan persoalan upah yang dia sendiri belum memahami sepenuhnya. Sehingga cara bicaranya pun cenderung asal jeplak.

Menurutnya yang acap kali menimbulkan masalah adalah regulasi yang mengatur kenaikan upah tiap tahun, sebab regulasi ini tidak menuntut produktivitas tenaga kerja. Lanjutnya, UMP harus naik tiap tahun, tapi produktivitas pekerja bervariasi.

Dalam peneropongan saya, pak Menaker sepertinya sudah merasa tidak nyaman dengan aturan atau regulasi yang mengatur kenaikan upah tiap tahun. Barangkali ini hasil bisikan dari Menteri Perindustrian, Saleh Husin, yang mengusulkan metode penetapan besaran UMP dilakukan 5 tahun sekali.

Saya ingin sampaikan pada pak Menaker, bahwa soal tuntutan produktivitas tenaga kerja itu ada aturan mainnya tersendiri. Bahkan ada kalanya sistem peningkatan produktivitas buruh itu ada dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) karena hal ini merupakan salah satu komponen dalam penilaian untuk membedakan besaran upah buruh/pekerja. Sebenarnya kalau saja pak Menaker jeli, sebenarnya hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13/2003.

Seyogyanya pak Menaker lebih memperhatikan nasib buruh, sebab buruh berada pada posisi yang selalu dipojokan. Terutama dalam aksi-aksi menuntut kenaikan upah, seperti kata pak Menteri; tuntutan buruh itu tidak realistis. Ini bukti bahwa posisi buruh selalu dipojokan.***
 

Tidak ada komentar: