Selasa, 16 Maret 2010

Puisi Lawas

Bulan Sabit, Burung Malam 
Dan Lelaki Setengah Tua 
Oleh: Abu Gybran














Selepas maghrib,
bulan sabit mengintip diranting-ranting cemara
Mengepakkan sayap burung-burung malam
menoreh cerita, mengais sisa-sisa cinta.
Lelaki setengah tua dikeremangan malam
Sendiri, terdiam dipojok teras
harapannya telah tergilas
Bujuk rayu pendusta seakan tanpa batas.
Ketika kemarin sore,
dibiarkan istrinya tergeletak pasrah
digerogoti paru-paru basah
mati tak diobati !

Pendusta dan titahnya kian panjang menjuntai
panjang dan melelahkan.
Segala miliknya telah lenyap dirampas
dan dia benar-benar terhempas
diatas karang-karang keras
Hatinya kian kering meranggas
diantara potongan-potongan napas
dia berkata lirih; "kemana baju zirahku?".

Dikeremangan malam
bulan sabit mengintip diranting-ranting cemara
Burung-burung malam bersenandung lagu cinta
Sayup mendayu, anak-anak perawan berdendang rebana
lantunkan sholawat Nabi
Bangkitkan jiwa,
merangkai sisa-sisa mimpi
tercabik-cabik, lelaki setengah tua
tetap diam dalam sepi
Gairah birahinya telah mati
ditelanjangi krisis ekonomi
dan dia merasa terusir jauh
dari negerinya sendiri.

Bulan sabit bermata sipit
Burung-burung malam adalah maling
dan lelaki setengah tua tanpa daya
sendiri berselimut mimpi

Selepas shubuh, diatas sajadah hatinya berkata;
"'Kan kutusuk bulan sabit, 'kan kucincang burung-burung malam
untuk tumbal negeri hampir karam.
O,....'kan kutinju langit, air mengucur
hijaukan permadani khatulistiwa
subur makmur, seperti dalam hikayat leluhur ".

Diatas sajadah,
dia tak mampu lagi berkata-kata
lelaki setengah tua itu tersungkur.

Serang, Agustus 2000