Kamis, 20 Agustus 2015

TEMBANG KEMATIAN DISEPOTONG MALAM

Oleh: Abu Gybran

Lelaaaa lela lekung
Lela lelaaaaa lekung
Lela lekung lela lekung..........

Mencekam malam menghitam, menikam
Senyap, tanpa suara
Resah yang meresah gelisah, memenjarakan jiwa yang mulai gundah
Duh, keluh mengeluh; dimana letak sajadah yang pernah dihamparkan?
Kiranya kesombongan telah membutakan mata dan hati mengeras cadas
Saat kematian merobek baju zirah
Lelaki separuh abad dibenturkan dipenghujung malam
Bersusah payah menyeret-nyeret napas yang memberat
Sekarat
Ketakutan menampar-nampar wajah; pucat pasi tak berdarah
Sajadah.......dimana sajadah?!

Ha.....ha....ha.....
Gelak tawa iblis berpesta disepotong malam yang tersisa
Tidak menyisakan sedikitpun ruang
Ruang dimana jiwa dapat mengingat Tuhan
Dijejali kesenangan samar yang menipu
Kesombongan adalah berhala yang ditiupkan pada nafsu yang tak berujung
Kebebasan setan sejatinya adalah kurungan
Ya, jiwa terkurung di ruang sempit yang menghimpit
Lelaki setengah tua telah lama kehilangan kebebasan yang sebenarnya
Dan kemerdekaan yang sesungguhnya
Dirampas dan terampas hingga lupa
Dimana letak sajadah yang pernah dihamparkan saat jiwa menghamba pada keagungan Tuhan
Dia, dihampir sepanjang napasnya telah tersesat di rimba belantara dosa-dosa yang menghitam legam
Jiwa karam digelapnta kelam

Lelaaa lela lekung
Lela lelaaaa lekung
Lela lekung lela lekung.......

Disepotong malam yang tersisa
Sosok hitam berdiri garang di depan pintu
Menghadirkan masa kelam dengan segala kejumawaan
Dia, lelaki yang merasa bakal mati malam itu mencoba melawan
Meninju nafsunya; merangkak menggapai dimana sajadah pernah ia hamparkan
Tuhan......
Aku malu memanggil-Mu disaat napas sudah tersengal, dijegal batas waktu yang sudah digariskan
Kematian adalah kepastian yang meruntuhkan segala kesobongan
Dipenghujung malam biarkan, biarkan aku mengakhirinya dalam pertobatan
Perkenankan ya,.....rahman
Dekap, dekap, dekap aku dalam ampunan

Astaghfirolloh robal baroya
Astaghfirolloh minal khotoya

Tembang kematian lelaki separuh abad dipenghujung malam
Mengalun lirih dalam kepasrahan
Lantunan syair-syair sufi mengantarkan dan mempersembahkan sepotong iman yang masih tersisa pada ampunan Tuhan;
Ya robb,.....aku memang bukan ahli syurga. Tapi aku pun takkan kuat berada dalam neraka,
Maka terimalah tobatku dan ampunilah atas dosa-dosaku
Dia, lelaki dengan sepotong imannya itu
Menyungging senyum dalam tidur panjang
Bayang hitam yang berdiri garang di depan pintu itupun sudah tak tampak lagi
Hanya menyisakan wangi pada sajadah yang terhampar di sudut kamar
Senyap, tanpa suara

Lelaaaa lela lekung
Lela lelaaaaa lekung
Lela lekung lela lekung........

(Tangerang, 20 Agustus 2015)

Kamis, 19 Maret 2015

Perempuan di Pesisir Selatan

Oleh: Abu Gybran



Teluk Penyu saat senja merangkak
Kilau cahaya yang merona memantul pada debur ombak
Ada perempuan muda berdiri mematung tak bergerak
di tepi pesisir selatan
Gejolak batin terdampar pada getir kehidupan
Telah lama mati rasa padahal saat itu kaki menginjak pasir basah
Mengharap berkah
Pada bulan suro batin mendesah melangitkan seribu doa
Duh, gusti. Di mana harus kuletakan tumpukkan dosa?

Kerlip lampu perahu nelayan kembali dari melaut
Sekeranjang ikan dibawa pulang
Tatapan nelayan tua menggetarkan jiwa, menyapa
Perempuan muda masih berdiri dalam remang cahaya

Kembali,
sang surya kembali keperaduan
Jiwa menangkap isyarat alam dalam putaran
Terang dan gelap bergantian
Naik dan turun perjalanan
Hitam dan putih kehidupan

Melarung dosa di laut tanpa batas
Meyakini bahwa ampunan-Nya juga tak terbatas
Jiwa yang kering meranggas
Tumbuh tunas ketentraman yang pernah terpangkas
Syahwat yang mengganas menggilas
akal sehat yang menjauhkan jarak
Aku yang tercampak

Perempuan muda tak lagi berdiri sendiri
Sebab angin laut, pasir basah, debur ombak dan malam yang syahdu
Melebur dalam jiwanya, ketenangan telah didapatkan
Senyap dalam pelukan Tuhan.

(Tangerang, 19 Maret 2015)      


Rabu, 11 Maret 2015

Cerpen: Gaji Terakhir untuk Istri dan Anakku

Oleh: Abu Gybran

Panggil saja aku Sunarto. Aku bekerja disebuah pabrik yang memproduksi benang di sebuah Kawasan Industri Tangerang. Sudah tujuh tahun aku menjalani hidup menjadi buruh pabrik, tepatnya setelah aku menikah dengan gadis pujaanku. Aku bahagia terlebih setelah anak pertamaku lahir. Walau jarang bertemu dengan keluargaku, karena mereka tinggal di kampung, tapi rumah tanggaku berjalan normal-normal saja. Istriku sangat memahami kondisiku sebagai buruh pabrik. Sebagai suami, aku sangat beruntung.

Gajiku tidak besar, bahkam boleh dibilang pas-pasan. Hanya cukup untuk membiayai makan keluarga kecilku. Itu pun aku sudah menghemat luar biasa. Betapa tidak, terkadang makan saja hanya sekali yaitu pada istirahat makan siang. Aku melakukan itu semua agar bisa mengirim uang lebih besar buat istri dan anakku.

Banyak teman-teman sekerja yang memperhatikan cara-caraku menghemat gaji dengan mengurangi porsi makanku. Bahkan di antara mereka mengatakan bahwa aku sangat ngirit hingga tak memperhatikan kesehatanku sendiri. Aku menyadari hal ini, tapi hanya dengan cara ini aku ingin membahagiakan keluargaku. Sungguh lebih baik aku yang merasakan kegetiran dalam hidup ini dari pada istri dan anakku. Aku mencintai mereka dengan segala keikhlasanku. Kebahagiaan yang tiada tara saat aku mampu membuat mereka tersenyum.

Hari terus berjalan menuliskan ceritaku, kesungguhan dan keikhlasan yang aku perjuangkan demi keluargaku yang terkadang bahkan sangat tak memperhatikan lagi kondisi kesehatanku, pada gilirannya aku roboh juga. Aku sakit. Aku didera sakit kepala yang tiada tara sakitnya. Sudah hampir dua minggu aku tidak mampu bekerja. Dan aku tidak memberitahukan keadaan sakitku pada istriku. Aku tidak mau istriku dibebani pikiran macam-macam.    

Beberapa bulan terakhir ini istriku sering menghubungiku melalui hp. Dia menyampaikan bahwa biaya hidup makin tinggi terlebih anakku sudah mulai memasuki sekolah Taman Kanak-kanak (TK). Sementara uang yang aku kirim tiap bulannya sudah mulai kedodoran alias jauh dari pada cukup. Aku memahami semuanya tapi kemana lagi aku harus mencari uang tambahan? Disinilah aku merasakan betapa pusingnya aku menjadi seorang suami. Aku merasakan tekanan yang begitu berat bukan hanya ditempat kerja tapi juga kondisi keluarga yang menjadi tanggung jawabku.

Aku belum sembuh total dari sakitku, tapi aku paksakan untuk mulai bekerja kembali. Aku tidak mau berlama-lama di tempat tidur. Masih lemas sebenarnya, untuk berjalan saja rasa-rasanya aku harus sedikit menyeret kakiku yang terasa berat. Tapi ketika wajah istri dan anaku membayang, aku seperti mempunyai kekuatan untuk melawan rasa sakit. Aku harus tetap bekerja.........

***

Kalau saja aku mempunyai keahlian lain selain menjadi buruh pabrik, mungkin aku tidak akan merasakan kesulitan yang dirasa berat ini. Aku ingin mencoba usaha sampingan yang aku rasa bisa, seperti menjadi tukang ojek. Tapi dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk membeli sepeda motor? Sebenarnya banyak teman yang menyarankan agar aku mengkredit motor. Tapi lagi-lagi aku mengukur pengahasilanku. Artinya selama tiga tahun gajiku harus rela dipotong untuk membayar kreditan motor dan selama itu pula uang yang aku kirimkan untuk istri dan anakku berkurang. Sementara istriku sudah berkali-kali meminta kiriman uang lebih karena kebutuhan hidup terus meningkat. Duh, gusti.......!!! Kadang aku hanya membatin menghadapi kesulitan ini.

Aku harus menghemat bagaimana lagi? Bahkan beberapa bulan terakhir ini bukan hanya porsi makanku saja yang aku kurangi, kebutuhan untuk mandi pun sudah tak terpikirkan lagi. Mandi saja aku sudah tidak menggunakan sabun mandi. Bahkan odol untuk sikat gigi, sampai gepeng aku urut-urut untuk mengeluarkan isinya, sudah tak bersisa.

Sepertinya kesulitan belum mau beranjak dari kehidupanku. Memasuki 8 tahun usia perkawinanku, istri dan anakku masih tinggal di rumah mertua. Sebenarnya aku sudah malu sama mertua karena aku belum bisa mempunyai rumah sendiri. Mempunyai rumah sendiri masih sebatas impian. Jangankan rumah, terkadang istriku masih meminta subsidi beras pada orangtuanya jika kiriman uang dariku tidak mencukupi untuk kehidupan sebulan. Aku bersyukur pada Tuhan karena mempunyai mertua yang baik. Tapi sampai kapan aku harus terus bergantung pada kebaikan mereka? Sudah ribuan kali aku melangitkan doa pada Tuhan agar segera dilepaskan dari kesulitan hidup ini. Dan ribuan kali juga aku berusaha menepis rasa putus asa dalam diri ini. Aku berusaha untuk tetap tegar dalam menghadapi semua ini. Hidup adalah pilihan dan aku tidak menyesal menjalani kehidupan yang telah aku pilih. Walau menjadi buruh pabrik sebenarnya bukan dari cita-citaku.

"Kerja apa pun yang penting halal," kata istriku dulu ketika baru beberapa bulan menikah. Aku masih mengingatnya dengan baik. Aku memang bersalal dari keluarga yang sangat sederhana. Bahkan sebagai maharku untuk istriku saat itu hanya seperangkat alat shalat yang bisa aku berikan. Jangan membayangkan ada pesta perkawinan ketika aku menikah sebab itu tidak ada. Hanya selamatan kecil yang dihadiri oleh beberapa keluarga terdekat.

***

Kerjaku mulai tidak normal karena sering didera sakit. Sementara di pabrik, manajeman tengah melakukan pengurangan tenaga kerja. Bayang-bayang pemecatan tengah menghampiriku. Terlebih aku hanya sebagai buruh kontrak ditambah dengan seringnya tidak masuk kerja karena sakit, sudah pasti aku termasuk buruh yang bakal dipecat. Aku pasrah. Walau sebenarnya aku ingin tetap bekerja.

Benar saja, dugaanku tidak salah. Aku dipecat. Kiranya gaji bulan Desember di penghujung tahun adalah sebagai gaji terakhirku. Tanpa uang pesangon sebab aku hanya sebagai buruh kontrak. Aku hanya diberi uang kebijakan perusahaan yaitu separuh dari gajiku. Sebenarnya aku ingin protes terhadap kebijakan perusahaan, tapi aku tidak tahu sebab aku tidak memahami aturan ketenagakerjaan. Lagi, aku pasrah menerimanya.

Sore, saat gerimis. Langkahku gontai keluar dari pintu gerbang pabrik. Tak jauh dari pabrik aku menuju sebuah Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yang berada disebuah mini market. Hampir seluruhnya aku kirimkan gaji terakhirku untuk istri dan anakku. Aku hanya menyisakan sedikit uang untuk membayar rumah kontrakan dan kebutuhan lainnya. Sebab aku tidak berniat untuk pulang. Aku harus mencari pekerjaan lain lagi. Istriku tidak boleh tahu kalau aku sudah berhenti kerja. Walau tidak mudah aku akan berusaha untuk mendapatkan pekerjaan baru.

***

Sudah seminggu setelah berhenti kerja, aku belum mendapatkan pekerjaan lagi. Sudah banyak perusahaan yang aku datangin untuk melamar kerja. Tapi hasilnya belum ada. Ada beberapa orang, mungkin seorang calo yang menawariku pekerjaan tapi harus dengan imbalan. Ya, imbalan yang jumlahnya menurutku tidak sedikit. Aku uang dari mana? Duh, gusti. Untuk mendapatkan pekerjaan kenapa harus beli? Aku hanya bisa membatin.

"Susah, mas, cari kerja kalau tidak pake uang zaman sekarang," kata seorang calo yang menemuiku. Aku hanya tersenyum getir. Sudah edan, pikirku, untuk mendapatkan pekerjaan saja harus bayar. Aku tidak boleh menyerah pada keadaan. Aku harus tetap berusaha sebab istri dan anakku harus makan.

Waktu terus berjalan tanpa kompromi. Aku tidak tahu harus memberikan alasan apa pada istriku karena yang jelas aku belum bisa mengirimkan uang lagi. Aku masih menganggur. Bahkan hutang di warung makan yang tidak jauh dari rumah kontrakan, setiap hari makin bertambah. Ingin rasanya aku pulang saat itu berkumpul dengan keluargaku. Sangat jarang aku berkumpul dengan mereka. Aku sangat merindui mereka. Bahkan saking jarangnya berkumpul dengan mereka, rasa-rasanya aku sudah lupa cara memeluk istri dan anakku.

Kondisi kesehatanku benar-benar ambruk. Untuk meredakan sakit kepalaku, aku tidak bisa berobat ke klinik dokter. Hanya meminum obat dari warung. Bahkan kata pemilik rumah kontrakkan, Haji Lukman, aku pernah tidak sadarkan diri. Dalam kondisi seperti itu, yang terbayang di kepalaku adalah keluargaku. Aku tidak bisa menggerakkan badanku, rasanya berat sekali. Yang aku lihat seperti berputar. Aku hanya mampu berbaring tak berdaya. Memohon kesembuhan terus aku pintakan pada Tuhan. Aku tidak mau mati sendirian di rumah kontrakkan. Awalnya aku tidak mau memberitahukan keadaan sakitku pada istri. Tapi pendirianku jebol juga sebab aku merasakan sakit yang luar biasa. Aku khawatir bahwa usiaku tidak lama lagi. Walau aku tahu bahwa mati dan hidup itu ada di tangan-Nya. Melalui pesan singkat atau SMS aku menyampaikan keadaanku pada istriku;

"Mah, bulan ini aku tak bisa berkirim uang. Aku sudah di pehaka dari pabrik bulan kemarin. Uang yang aku kirimkan bulan kemarin, itu adalah gaji terkahir. Saat ini aku sedang berbaring sakit. Aku mohon doamu agar aku cepat sembuh dan bisa untuk mendapatkan pekerjaan kembali. Sampaikan salam kangenku pada anak kita............." 

Selesai mengirim pesan itu, aku merasakan dunia menjadi gelap. Selanjutnya aku seperti berada pada dunia lain, dunia yang tidak pernah aku kenal. Dunia yang terang benderang. Rumah-rumah mewah seperti istina dengan segala keindahan tamannya, aku dapat melihatnya dengan jelas. Seperti dalam khayal. Masyarakatnya yang ramah dengan lengkung senyum yang selalu menyungging menyambut kehadiranku. Aku seperti tamu agung yang sangat dihormati. Aku menuju sebuah istana megah dan di pintu depan istana itu aku melihat istri dan anakku sedang menunggu kedatanganku. Bahagianya aku, kerinduanku membuncah saat itu. Terima kasih Tuhan. ***


Senin, 02 Maret 2015

Kesahku

Oleh: Abu Gybran

Tuhan...........
Jiwa dan raga ini adalah milik-Mu
Aku hidup hingga kini itu karena kehendak dan kuasa-Mu. Aku tidak tahu batas hidup yang telah Kau berikan. Aku hanya tahu dan merasakan bahwa nafasku masih bersamaku.
Maafkan jika aku belum bisa menjawab pertanyaan jiwaku; apakah aku bahagia?  
Seperti halnya burung-burung yang terbang jauh dan kembali ke sarangnya dengan senang.
Juga seperti halnya bunga-bunga yang mekar indah dipandang
Rerumputan yang terhampar menghijau, gemercik air pancuran bambu di kaki bukit berbatu
dan lengkung senyum pelangi di saat senja. Mereka bahagia.

Ajari aku untuk bisa bahagia seperti mereka tanpa kesah ketika mata terbuka
dan tanpa ketakutan ketika mata terpejam.

Tuhan..........
Jiwa dan raga ini adalah milik-Mu
Aku telah memilih jalan hidup yang telah aku pilih. Berharap mendapatkan makna dari bahagia bagi jiwa yang meronta meminta. Jauh hingga kaki tak sanggup lagi melangkah karena letih
Bahkan aku tak tahu lagi harus mencari kemana. Aku telah menghabiskan separuh abad usiaku dalam pencarian
Padahal bahagia itu sederhana. Seperti halnya yang aku lihat pada burung-burung yang terbang, bunga-bunga yang mekar, rumput yang menghijau, air yang gemercik dan pelangi yang selalu tersenyum. Tapi dimana letak bahagia bagi jiwaku?

Ajari aku untuk bisa bersyukur seperti mereka tanpa kesah ketika mata terbuka
dan tanpa ketakutan ketika mata terpejam.

Tuhan........
Jiwa dan ragaku adalah milik-Mu
Aku telah memberikan persembahanku pada-Mu. Tunduk dengan segala keikhlasan bahwa tidak ada yang wajib disembah kecuali Allah. Dan aku hanya memohon pertolongan hanya kepada-Mu.
Hilangkan kesahku dan lenyapkan ketakutanku
Aku ingin bahagia dalam menghabiskan sisa-sisa nafasku
Kalau pun aku tak menemukannya di dunia,
tapi dengan berbekal persembahanku yang tak seberapa, aku berharap syurga pada akhirat-Mu.
Amin.

(Tangerang, 2 Maret 2015)


Sabtu, 28 Februari 2015

Seruni yang Melayu

Oleh: Abu Gybran


Seruni di pagi hari dalam kukungan sepi
di tanah basah menyendiri
Gemetar hati mata menangkap luka
Sebab ia merunduk layu

Seruni melayu di tanah basah
bergelayut embun tak membuatnya berseri
Gerimis tak mengobati luka menganga
Merintih dirajam sepi

Di mana lengkung senyum
atau nyanyian kecil tentang cinta?

Seruni yang dijauhi
padahal belum lama mereka mengagumi
Keindahan rupa yang mempesona
Kau begitu didamba

Seruni terperangkap goda si pemberi janji
diri jatuh diseret birahi
Dijejali sesal yang bertubi
Untuk apa lagi ditangisi?

(Tangerang, 28 Februari 2015)
  

Selasa, 24 Februari 2015

Cerpen: Arini Yang Terluka

Oleh: Abu Gybran

Senja baru saja berlalu ketika Arini baru saja tiba di rumahnya. Rumah yang berderet memanjang terdiri dari beberapa kamar. Rumah petak kontrakkan bagi sejumlah buruh pabrik yang menghuninya. Rumah kontrakkan milik Haji Salim itu tidak begitu jauh dari Kawasan Industri Serang Timur. Arini sudah hampir sepuluh tahun tinggal di situ. Selama itu kehidupannya sebagai buruh pabrik belum menunjukkan adanya perubahan. Dia masih suka hidup sendiri, padahal usianya sudah 32 tahun. Arini selalu menolak ketika ada beberapa lelaki yang berusaha melamarnya untuk berumahtangga. Menurutnya, dia belum siap untuk berumahtangga. Dia seperti menyembunyikan sesuatu dalam perjalanan cintanya. Dan itu tergambar jelas dalam status yang ditulisnya di media sosial facebook. Seperti ada rasa kekhawatiran dan rasa takut yang amat sangat ketika hendak menjalin hubungan cinta dengan lelaki yang mendekatinya.

Seperti biasa, selesai melaksanakan kewajiban shalat isya, dia menulis di blog pribadinya. Dan yang ditulisnya selalu tentang kesendiriannya. Betapa dia kesepian, tapi dia tidak tahu harus berbuat apa. Curahan hatinya hanya ditumpahkan pada tulisan yang jika dibukukan sudah menghasilkan beberapa buku. Ada kalanya dia juga menulis tentang kerinduan pada seseorang tapi kemudian dia mencaci-maki dirinya sendiri. Ada semacam kekecewaan yang pernah dialaminya. Seperti sepenggal kisah malam itu yang ditulisnya.........."Aku mencintaimu, tapi dimana kamu sekarang? Aku sudah kehilangan jejakmu. Kau pergi disaat aku benar-benar mencintaimu. Tanpa sebab, kau seperti hilang ditelan bumi. Kau biarkan aku sendiri berjibaku melawan sepi yang menggerogoti tiap waktu. Aku hidup tapi sesungguhnya hatiku telah mati. Mati rasa karena rindu yang menindih. Duh, gusti. Kenapa dahulu aku jatuh cinta padanya? Kegetiran hidup ini aku harus menanggungnya sendiri. Kepahitan hidup setelah aku kehilangan milikku yang semestinya aku jaga. Betapa bodohnya aku ini. Aku telah tertipu oleh napsuku sendiri. Aku tertipu oleh pandangan dan rasa saat itu yang semuanya terasa indah. Indah hanya disatu musim setelahnya kekeringan yang melanda jiwa.........."

Sudah tengah malam tapi Arini belum merasakan kantuk. Dia berusah memejamkan matanya di peraduan, tapi tak bisa. Bayangan masa lalunya selalu saja menghantuinya. Padahal dia sudah berusaha untuk melupakanya. Menjadi buruh pabrik merupakan pelariannya dari masa lalu yang telah merenggut harapannya. Pikirnya, yang penting dia pergi jauh dari kampung halamannya. Dia berharap dapat melupakan sosok lelaki yang dicintainya sejak di SMU. Tapi malam itu Arini benar-benar tersiksa, kenapa bayangan masa lalu pahitnya itu muncul kembali? Dia tidak mau kalah oleh bayangan masa lalu yang telah dikuburnya itu. Arini bangkit dari tempat tidurnya. Dia mengambil air wudhu lalu diambilnya Al-Qur;an. Dia berusaha berdialog dengan Tuhan melalui kitab suci-Nya. Surat Yaa Siin dilantunkannya dengan perlahan dan merdu. Sangat menyayat hati. Arini membacanya terus hingga hatinya kembali mendapatkan ketenangan. Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.

***

Di kantin pabrik saat istirahat makan siang. Hujan baru saja reda, Arini mengambil tempat duduk paling pojok bersama Anita sahabat akrabnya. Cuaca masih terasa dingin, sesekali angin kecil memainkan ujung jalbabnya. Suasana riuh oleh dentingan sendok yang beradu dengan piring. Siang itu Arini lebih banyak diamnya. Bahkan nasi di piringnya hanya beberapa suap saja yang disantapnya. Nampak kurang berselera. Anita sesekali memperhatikan kelakukan sahabatnya itu, tidak seperti biasanya. Terlebih ketika pengelola kantin siang itu memutarkan lagu cinta nostalgia. Arini menikmati lagu itu begitu mendalam........"Mungkin lebih baik begini//menyendiri di sudut kota ini//kututup pintu hati untuk semua cinta//walau batin ini menangis//Jangan datang atau titip salam//hanya menambah luka di hatiku//hapuslah namaku, hapuslah semua kisah kasih yang pernah ada//Biarlah aku sendiri, menyendiri tanpa cintamu lagi//walau harus kuakui hanyalah kau yang sangat kusayangi//hatiku pun tak ingin mencari pengganti dirimu........"

Anita terkejut ketika melihat butiran air mata meluncur di pipi sahabatnya. Pasti ada yang tidak beres, pikirnya. "Kamu menangis, Rin. Kenapa?" tanya Anita sambil memegang tangan Arini. Arini baru nyadar, dia buru-buru menghapus air matanya. Dia berusaha mengelak dari pertanyaan Anita. Arini berusaha tersenyum untuk menutupi kesedihannya. 

"Kamu baik-baik saja kan, Rin."
"Ya, aku biak-baik saja."
"Terus kenapa tadi sampai menangis segala?"
"Kamu dengar lagu tadi nggak? Liriknya begitu menyayat."
"O, jadi cuma karena lirik lagu tadi kamu sampai menangis? Sampai sesusahnya begitu? Aku nggak percaya. Ceritalah padaku, Rin. Barangkali aku bisa membantumu jika kamu punya masalah. Biasanya nih, kalau gadis menangis karena mendengar lagu cinta, pasti sedang dikhianati pacarnya. Ya, kan?" Tebak Anita sekenanya.

Arini hanya tersenyum sambil menatap sahabatnya. Dan dia berkali-kali mengatakan bahwa dia hanya merasa terharu mendengar lirik lagu yang dilantunkan oleh penyanyi Meriam Belina, bukan karena pacar. Arini memang pandai menutupi masa lalunya. Dia sudah bertekad untuk tidak bercerita kepada siapapun tentang cinta masa lalunya. Pikirnya, untuk apa menceritakan semua yang telah terjadi menimpa dirinya pada orang lain. Luka hati akan kembali menganga. Ya, Arini lebih memilih menutup masa lalunya dengan berusaha untuk tetap hidup sendiri. Dia hanya percaya pada dirinya sendiri.

Siang itu Anita pun menceritakan soal pacar barunya. Seorang buruh pabrik juga, Basuki namanya. Basuki merupakan karyawan baru, belum genap satu bulan. Jadi Arini pun belum mengenalnya. Basuki adalah staff kantor di perusahaan yang memproduksi sepatu itu. Kebetulan rumah kontrakkannya bersebelahan dengan Anita. Jadi wajar saja kalau Anita mengenalnya lebih dekat. Cinta lokasi barangkali tepatnya.

Mendengar nama Basuki disebut, wajah Arini sedikit menunjukan keterkejutan. Seperti ada sesuatu dengan nama itu. Namun dengan cepat Arini membuang dugaan dan rasa cemasnya itu jauh-jauh.

Anita berniat memperkenalkan Basuki, pacar barunya itu pada Arini. Menurutnya sih, kali ini dia ingin sungguh-sungguh menjalin hubungan, bahkan cita-citanya sampai kejenjang pernikahan. Dia sudah bosan hidup berpetualang dengan gonta-ganti pacar. Basuki adalah yang terakhir dan untuk selamanya, keinginannya yang diutarakan pada Arini. "Amin," doa Arini mengakhiri bincang-bincang pada istirahat makan siang itu.

***

Minggu pagi yang cerah, dimana sebagian buruh pabrik menikmati hari libur. Arini bersih-bersih rumah. Ruangan depan yang tidak lebar itu ditata dengan apik. Di sudutnya ada rak buku kecil, beberapa novel dan buku masakan tersusun rapi. Paling atas susunan rak itu ada Kitab Al-Qur'an dan 4 buku agama. Tidak aja meja atau kursi di ruangan itu. Hanya ada kasur lipat sebagai tempat duduk dan beristirahat. Hari itu Arini sedang menunggu sahabatnya Anita dan pacarnya yang akan diperkenalkan padanya.

Sudah jam satu siang, Anita belum juga datang. Mungkin karena hujan. Sebab siang itu hujan memang cukup deras. Arini sampai tertidur menunggu hujan reda. Dia tidak tahu berapa jam dia tertidur ketika suara pintu diketuk berulang. Dia terperanjat sesaat mendengar suara sahabatnya, Anita. Dia bergegas membukakan pintu menyambut sahabatnya.

"Maaf, aku ketiduran tadi," kata Arini yang masih sedikit terpengaruh kantuk
"Nggak apa-apa, Rin. Oya, kenalkan ini Basuki yang aku ceritakan kemarin siang," kata Anita bangga.

Saat kedua tatapan itu beradu, Arini merasakan ada hentakkan yang membentur dadanya begitu keras. Hampir saja dia tak mampu menguasai dirinya. Sama halnya dengan Basuki, dia terperanjat. Dia merasakan hal yang tak pernah diduganya. Keduanya hanya bengong dan diam dengan segala keterkejutan. Situasi itu membuat keheranan Anita yang menyaksikan saat itu terjadi.

"Lha, kok malah pada bengong. Apa kalian sudah saling mengenal?" tanya Anita yang masih diliput rasa keheranan. Pertanyaan Anita menyadarkan mereka dari keterdiaman beberapa saat. Saat itu, Arini langsung mejawab pertanyaan Anita. Tentu saja dengan sedikit agak gagap. Dia berusaha menyembunyikan keterkejutannya pada Anita, bahwa dia belum pernah mengenal Basuki. Dengan senyum yang dipaksakan, Arini mempersilakan keduanya masuk. Arini berusaha untuk bersikap biasa seolah-olah tidak pernah terjadi apapun antara dia dengan Basuki.

Dalam pertemuan yang tidak lama itu tentu saja Arini lebih banyak diamnya. Anita yang banyak bicara, sementara pikiran Arini melayang kemana-mana. Dia tidak fokus, sama sekali tidak tahu Anita bicara apa. Tatapannya kosong, walau terkadang dia tersenyum ke arah Anita dan itu hanya untuk menutupi kekacauan pikirannya. Ya, pikirannya sangat kacau. Betapa tidak, sosok lelaki yang bersama Anita yang kini ada dihadapannya adalah orang yang sedang berusaha untuk dilupakan. Orang yang dicintainya, orang yang selalu dirindukannya dan orang yang selalu ditunggu kehadirannya. Basuki orang yang meninggalkan Arini kekasihnya yang tanpa alasan itu. Setelah sekian lama Arini diombang-ambing ketidakpastian cintanya, justru Basuki datang bersama sahabat baiknya, Anita.

Teramat menyakitkan, hatinya benar-benar terluka. Arini kini tahu, betapa dahulu dia telah mencintai orang yang salah. Lelaki yang tidak bisa dipegang janjinya. Seperti pepatah; habis manis sepah dibuang. Dan itu Arini mengalaminya. Yang lebih menyakitkan hatinya lagi adalah; kenapa justru Anita kini jatuh dalam rayuan lelaki penipu itu? Dia tidak rela kalau Anita sahabatnya menjadi korban berikutnya. Anita harus diberi tahu, pikirnya.

***

Akhirnya dalam sebuah kesempatan Arini membeberkan masa lalunya pada Anita. Semuanya diceritakan dan tidak ada yang terlewat. Bahwa Basuki adalah masa lalunya. Orang yang telah meninggalkannya dalam ketidakpastian hidup. Orang yang dicintainya yang telah menelantarkannya di belantara sepi.

Setelah mendengar cerita Arini, sikap Anita seperti berubah. Tidak seakrab sebelumnya. Bahkan Anita berusaha untuk menghindari Arini. Cerita Arini sama sekali tak berpengaruh pada hubungan atara Anita dan Basuki. Bahkan Anita menganggap cerita sahabatnya itu hanya mengada-ada. Arini hanya cemburu, menurutnya.

Arini yang terluka kini benar-benar merasa hidup sendiri diperantauan. Dia terpaksa berhenti bekerja karena tidak ingin melihat sosok Basuki. Dia lebih memilih untuk pulang kampung, menghabiskan masa-masa hidupnya bersama kedua orangtuanya. Banyak yang bisa dilakukannya di kampung halaman, di antaranya adalah mengajar mengaji anak-anak kampung. Suaranya yang merdu dalam melantunkan Al-Qur'an, kini kembali menambah ketenangan masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Kencana, Lebak.

Setelah di tinggal Arini, kini rumah petak kontrakkan milik Haji Salim itu kosong satu ruangan. Sudah ada tulisan di pintu rumah kosong itu dengan huruf besar: ADA KONTRAKKAN KOSONG. ***       

    

Rabu, 28 Januari 2015

Cerpen: Aku Bukan Janda

Oleh: Abu Gybran

Panggil saja aku Wati. Aku mempunyai seorang anak laki-laki yang usianya baru lima tahun, Doni namanya. Saat aku kerja, Doni aku titipkan pada tetanggaku yang tempat tinggalnya bersebelahan denganku. Rumah petak kontrakan yang aku sebut istana impian. Aku tinggal berdua dengan anakku itu. Sementara ayahnya Doni.......Ach, tidak. Aku tidak mau menyebut namanya. Aku sudah mengubur namanya dalam-dalam. Bahkan mengingatnya pun aku sudah tak mau. Jangan terkejut, bahwa aku tak pernah bersuami tapi akupun tak sudi disebut janda lantaran aku sudah punya anak. Aku bukan janda sebab aku belum pernah menikah dengan siapapun, termasuk orang yang menjadi ayahnya Doni.

Saat aku memutuskan pergi dari rumah orangtuaku, sebuah desa terpencil di kaki Gunung Rajabasa, aku merantau ke daerah Banten di mana aku tinggal saat sekarang ini. Saat itu sudah hamil dua bulan. Tentang kehamilanku, tentu saja kedua orangtuaku tidak tahu. Mereka hanya tahu aku merantau untuk mencari pekerjaan. Aku sengaja tidak pernah menceritakan tentang masalah yang aku hadapi. Tentang hubungan cintaku dengan seorang pria yang aku cintai di mana orangtuaku juga sudah mengenalnya. Ya, aku mencintainya, hingga semua yang aku miliki kuberikan padanya. 

Sebenarnya aku tak mau menceritakan soal ini, saat di mana aku dikhianati. Aku ditinggalkan..........

Dengan berjalannya waktu, aku diterima kerja di sebuah pabrik sepatu. Aku bekerja dalam keadaan hamil yang terus membesar. Aku mengajukan cuti hamil ke perusahaan saat kehamilanku sudah menginjak delapan bulan. Hingga persalinan, sendiri di rumah petak kontrakan. Beruntungnya, tetanggaku ada yang peduli dan menolong memanggilkan bidan. Lahirlah anakku yang kuberi nama Doni. 

Tetanggaku tidak ada yang menanyakan soal suamiku. Mereka tahunya bahwa aku adalah janda yang ditinggal mati suaminya. Seperti pengakuan bohongku saat kali pertama aku tinggal dirumah petak kontrakan yang aku sebut istana impian itu. Ya, istana impian di mana aku berusaha hidup mandiri untuk membesarkan anakku. Jangan tanya soal penderitaan, sebab itu sudah menjadi bagian dari hidupku. Hidup dalam lingkaran kebohongan untuk menutupi aibku. Aku tidak tahu bagaimana menyembunyikan anakku pada orangtuaku jika pada saatnya aku pulang kampung. Duh, aku tidak mungkin meninggalkan anakku. Pernah terlintas untuk menitipkannya di sebuah panti asuhan, tapi naluri keibuanku selalu mengatakannya, tidak. Sebab biar bagaimanapun dia adalah buah dari cintaku. Walau dari sebuah kesalahan yang aku salah dalam memaknai cinta yang sebenarnya. Anakku lahir dari hasil cinta yang terlarang.

***

Dengan pakaian hijab yang aku kenakan saat ini. Aku nampak alim dan anggun, kata sejumlah teman-teman kerja. Tentu saja di antara mereka yang terbanyak adalah laki-laki yang berusaha pedekate terhadapku. Hemmm......andai saja mereka tahu siapa aku yang sebenarnya, mungkin mereka akan menjauh. Aku mengenakan pakaian hijab bukan untuk menutupi betapa hitamnya hidupku. Jujur saja, aku bertobat. Aku ingin mendekatkan diriku pada keagungan Tuhan. Sebisa mungkin aku berusaha melaksanakan segala perintah-Nya. Aku ingin membersihkan lumuran dosa. Seperti hujan yang membersihkan debu-debu yang menempel pada daun kamboja. Terserah apa kata orang, yang jelas aku ingin seperti bunga yang berseri di pagi hari. Menyejukan bagi siapa saja yang melihatnya.

"Cantik, sungguh kamu teramat cantik dengan pakaian hijab itu," kata Ramlan di kantin pabrik saat istirahat makan siang. Aku menanggapinya hanya dengan senyum. Aku sudah hafal dengan rayuan gombal laki-laki. Aku tak mau terjerumus untuk yang kedua kalinya. Aku bukan Wati yang dulu. Banyak hikmah yang bisa aku petik dari perjalanan hidup masa lalu. Masa lalu yang membuatku menjadi dewasa. 

"Ach, biasa saja, mas." Kataku tanpa menoleh padanya yang duduk persis dihadapanku. Sebenarnya aku ingin sekali terlihat judes agar dia berhenti ngegombal. Tapi aku tak bisa. Aku terpaksa sedikit menyungging senyum. Hitung-hitung ibadah, pikirku. Ya, senyum untuk membuat orang senang adalah ibadah, kata guru ngajiku. 

Bukan hanya Ramlan yang sering menggodaku, tapi banyak pula yang lainnya. Tapi tak satupun yang aku tanggapi serius. Aku seperti sudah tak punya cinta. Aku seperti mati rasa untuk persoalan cinta. Entahlah yang jelas aku takut masa lalu itu terulang lagi. Aku hampir tak mempercayai siapapun dalam urusan cinta ini. aku ingin menikmati kesendirianku, toh masih ada Doni anakku yang bisa mengusir rasa sepi itu. 

Doni sudah pandai berkata-kata. Kadang ada kekhawatiran ketika dia bertanya soal ayahnya. Anak seumuran dia memang selalu banyak tanya. Untungnya, dia tak pernah bertanya soal siapa ayahnya. Walau barangkali dia telah merasakan keganjilan itu. Doni selalu bermain dengan temannya, anak tetangga yang tentu selalu bermain bersama ayahnya. Sementara Doni tak pernah merasakan itu. Dia tidak tahu sebenarnya dia pun punya ayah. Sosok ayah yang tak pernah dilihatnya.

Kadang tak terasa air mataku meleleh saat membayangkan Doni bertanya soal ayahnya. Bagaimana aku harus menjawabnya? Duh, Gusti. Aku tak mau anakku menjadi tumbal dari kesalahan yang telah aku lakukan. Biarlah aku saja yang merasakan kepedihan hidup ini. Tapi tidak dengan anakku. Kiranya sudah ribuan kali aku membatin dan memohon pada Tuhan agar diberikan jalan keluar dari segala penderitaan yang aku tutupi dengan kebohonganku. Rasanya ingin sekali aku berteriak agar semua orang tahu bahwa aku adalah perempuan yang telah mempunyai anak tanpa suami. Aku pun ingin menyampaikan pada mereka seterang-terangnya bahwa aku bukan janda sebab aku tak pernah menikah. Namun aku tak sanggup untuk berterus terang pada orang-orang di sekelilingku, termasuk pada orangtuaku. Aku ingin terus menyimpannya, entahlah sampai kapan. Biarlah hanya aku dan Tuhanku yang tahu.

***

Seperti biasa, setiap jam pulang kerja, aku selalu bergegas untuk segera sampai di rumah. Aku tidak mau Doni menungguku terlalu lama dan aku pun tak mau terlalu merepotkan tetanggaku yang ikut menjaga Doni. Untungnya anakku tidak rewel. Barangkali dia sudah dapat memahami keadaan ibunya. Duh, Gusti. Anak sekecil Doni harus ikut terseret-seret dan merasakan kepedihan akibat dari kesalahan masa laluku. Jujur saja, anakku lebih pendiam ketimbang dengan anak-anak yang tumbuh dalam keluarga normal.

 Sesampainya di depan gang jalan masuk menuju rumah kontrakan, aku terkejut melihat Doni sedang duduk dan ketawa-tawa bercanda di depan warungnya Pak Jaka dengan seorang laki-laki yang belum aku kenal. Aku langsung menggendong anakku. Tumben, Doni sedikit agak meronta ketika aku gendong. Rupanya dia meminta untuk duduk lagi.

"Bu, aku mau main lagi sama Om itu," rengek Doni sambil menunjuk laki-laki yang masih duduk di hadapanku
"Hus, sudah sore, sayang. Nanti besok main lagi ya," kataku sambil langsung pamit pada Pak Jaka dan juga pada laki-laki muda yang belum aku kenal itu. Sepintas aku melihat ada senyum tipis di sudut bibirnya. Aku merasakan bahwa dia sedang menatapku ketika aku beranjak meninggalkan warung.

Siapa dia laki-laki muda yang selalu mengajak anakku jajan di warungnya Pak Jaka setiap sore sambil menunggu aku pulang? Jelang satu minggu aku baru tahu namanya, Heryawan, itupun dari Pak Jaka siempunya warung yang juga pemilik rumah kontrakan. Sebenarnya aku tak mau tahu soal siapa dia, tapi aku tak bisa cuwek begitu saja padanya. Terlebih beberapa hari terakhir aku melihat keakraban anakku dengannya. Tidak ada salahnya jika aku mengucapkan terima kasih karena dia telah ikut dan mau menjaga anakku tanpa aku pinta. Karena dia ada niat lain atau tidak, itu bukan urusanku. Sebab kata guru ngajiku; kita tidak boleh berburuk sangka.

"Namaku Heryawan, panggil saja Wawan," katanya memperkenalkan diri di waktu sore yang lain. Ups, jangan salah. Dalam perkenalan itu dia tidak menjabat tanganku. Sebabnya mungkin karena aku berpakaian hijab. Aku tahu perkenalannya itu hanya basa-basi. Biasalah itu, aku sudah hafal di luar kepala kebiasaan seperti itu tak jauh beda dengan kebiasaan laki-laki lain di tempat kerja yang berusaha mendekatiku.

Heryawan memang baru satu minggu tinggal di rumah petak kontrakan yang berderet. Dia menempati rumah  paling ujung. Aku tidak tahu dia kerja atau tidak. Sebab setahuku semua penghuni rumah kontrakan rata-rata adalah pekerja. Dan sebagian besar adalah pekerja atau buruh pabrik. Yang aku tahu soal dia adalah setiap aku pulang kerja sore, dia sudah berada di rumahnya. Pak Jaka juga belum pernah cerita, padahal biasanya dia selalu tahu tentang siapa penyewa rumah kontrakannya.

"Terima kasih, ya, telah ikut menjaga Doni. Maaf kalau Doni suka merepotkan," kataku.
"Ya," jawabnya singkat.

Waw....! Aku terkejut mendengar jawaban singkatnya itu. Kali ini aku keliru menilainya. Sebab biasanya laki-laki itu kalau sudah diberi lampu hijau langsung kege-eran. Tapi tidak dengan Heryawan. Dia malah banyak diamnya ketimbang bicara. Apa karena ia merasa usianya lebih muda dariku sehingga merasa segan walau hanya sekadar bincang-bincang biasa. Atau ini hanya trategi saja untuk menarik rasa simpatiku? Sebab yang aku tahu laki-laki itu banyak akalnya kalau soal urusan perempuan. Terlebih yang dia sudah tahu dari tetangga bahwa aku hanyalah seorang janda dengan anak satu. Walau sejatinya, sekali lagi; aku bukan janda. Jangan tanya sampai kapan aku akan membantah soal statusku ini. Sampai nanti, sampai pada batasnya aku sanggup dan mempunyai kekuatan untuk menjelaskannya pada semuanya.

***
Seiring berjalannya waktu. Kedekatanku dengan Heryawan tak terbantahkan lagi. Sebenarnya aku sudah berusaha untuk menghindarinya. Tapi apalah dayaku ketika aku melihat keseriusannya untuk menikahiku. Dan itu diucapkannya tidak hanya sekali tapi berkali-kali. Jujur saja aku tersiksa menghadapi masalah ini semua. Seperti dihimpit dua batu besar, aku benar-benar tersiksa. Aku berhadapan dengan keraguan yang selalu menjegal. Ya, aku masih ragu dan tidak yakin dia bisa menerimaku apa adanya. Terlebih jika dia tahu statusku yang tidak jelas.

Aku memohon pertolongan Tuhan berkali-kali agar dibebaskan persoalan yang menyiksa batin ini. Aku tidak dan belum mempunyai keberanian untuk berterus terang pada Heryawan. Pikirku saat itu, syukur kalau dia bisa menerimaku apa adanya tapi jika tidak......? Bukan hanya dia tapi pasti orang lain juga akan tahu siapa aku yang sebenarnya. Sebab aku tak bisa menjamin dia bisa tutup mulut tentang siapa aku. Aku tak sanggup membayangkan status baru yang bakal disematkan padaku; janda bukan perawan juga bukan.

Aku pasrah. Aku kembalikan dan memohon pertolongan Tuhan. Dalam keheningan malam, di saat Doni terlelap tidur, dalam shalat tahajud aku berusaha berdialog dengan Tuhan agar dimudahkan dalam menghadapi masalah ini. Aku memohon keberanian untuk mengatakan semuanya pada Heryawan. Besok pagi, semoga aku dapat melihat lengkung senyum pagi dari orang yang kukagumi.***

            

Selasa, 20 Januari 2015

Upah Murah (Tetap) Menjadi Buruan Pengusaha (2)

Oleh: Abu Gybran

Beberapa tahun yang lalu saya pernah menulis tema yang sama, bahwa kecenderungan pengusaha selalu ingin membayar upah buruhnya dengan murah. Banyak alasan yang dikemukakan terkait dengan hal ini di antaranya adalah produktivitas buruh yang katanya cenderung tidak meningkat dan berkurangnya order. Bahkan ada pula dan ini lazim dilakukan pengusaha yaitu merelokasi pabriknya ke daerah yang basis upahnya masih rendah, seperti ke Jawa tengah.

Tahun ini setidaknya sudah ada 104 perusahaan di Banten mengajukan penangguhan UMK 2015 ke Disnakertrans Provinsi Banten dan 97 perusahaan diantaranya telah mendapatkan persetujuan penangguhan. Ini artinya bahwa buruh atau Serikat Buruh yang ada di perusahaan itu telah ikut menyetujui penangguhan UMK 2015 tersebut. Sebab sebagaimana diketahui salah satu sebagai syarat disetujuinya penangguhan upah harus ada persetujuan dari buruh atau Serikat Buruh di perusahaan tersebut. Hanya pertanyaannya; apakah buruh tahu tentang kondisi 'dapur' perusahaan yang sesungguhnya? Sebab sudah biasa jika pengusaha ditanya soal 'dapur'nya selalu bilang perusahaan sedang rugi. Dan nyaris tidak ada perusahaan yang terbuka soal kondisi keuangannya kepada buruhnya.

Buruh Harus Cerdas dan Peduli
Dalam menyikapi masalah penangguhan UMK 2015 ini, buruh atau Serikat Buruh harus punya kemampuan menganalisa kondisi neraca keuangan perusahaan. Dan ini merupakan sebuah keniscayaan bagi Serikat Buruh utamanya agar tidak dibohongi oleh pengusaha yang nakal. Dan harus peduli tidak asal tanda tangan sebelum mendapatkan data yang benar-benar valid soal kondisi keuangan perusahaan. Artinya cerdas saja tidak cukup tanpa dibarengi adanya kepedulian untuk mendapatkan keadilan.

Saya yakin buruh sudah cerdas saat sekarang ini, tapi soal kepedulian untuk memperjuangkan hak upah bersama barangkali harus ditingkatkan. Bukan hanya demo bareng-bareng dan teriak bareng-bareng menuntut kenaikkan upah tapi manakala perusahaan mengajukan penangguhan upah hanya diam dan tak berkutik. Bukan tanpa alasan saya menyatakan soal ini bahwa buruh masih takut di PHK. Sehingga ketika perusahaan menyodorkan dua pilihan; mau kerja terus dengan upah yang telah ditentukan perusahaan atau PHK. Saya yakin ketika buruh dihadapkan pada dua pilihan ini, buruh masih lebih banyak memilih kerja terus walau dengan upah di bawah UMK sekalipun. Alasannya cari kerja itu susah. Kelemahan buruh ini tentu saja amat disukai oleh pengusaha. 

Buruh atau Serikat Buruh harus mempunyai kesadaran bahwa kecenderungan pengusaha itu kalau tidak merelokasi pabriknya ke daerah yang basis upahnya rendah atau berusaha sebisa mungkin untuk membayar upah murah pada buruhnya. Kedekatan pengusaha terhadap penguasa memudahkan mereka untuk membuat kebijakan yang tidak pro buruh. Makanya jangan aneh kalau setiap tahun ada saja perusahaan yang mengajukan penangguhan upah. Artinya upah murah (tetap) menjadi buruan pengusaha.


Sabtu, 17 Januari 2015

PHK Karena Efisiensi, Keliru

Oleh: Abu Gybran

"PHK massal sedang berlangsung di pabrik sepatu PT. Nikomas Gemilang devisi puma di Serang", kata seorang teman yang bekerja di sana. Menurutnya, perusahaan mem-PHK buruhnya karena alasan efisiensi untuk mengurangi beban ongkos perusahaan karena berkurangnya order. Efisiensi.......? Tapi kenapa buruh yang jadi korban? Apa tidak ada cara lain selain mem-PHK buruh? 

Terus terang saya terkejut, ketika saya mendengar dan mengetahui persoalan yang tengah dihadapi oleh para buruh yang bekerja di pabrik sepatu yang berada di Serang itu. Betapa tidak, di Serang, saya banyak mengenal para aktivis Serikat Buruh di sana yang mempunyai keuletan dalam memperjuangkan anggotanya dari berbagai macam perselisihan dengan perusahaan. Tapi hingga saat tulisan ini saya buat, saya hanya mendapati sedikit perlawanan dari beberapa buruh perempuan yang berusaha menolak PHK. Dan itu pun saya melihat mereka hanya di media sosial, Facebook.

Oke, dalam tulisan ini saya tidak akan memperbincangkan soal Serikat Buruh yang ada di sana, lagi pula bukan kapasitas saya untuk mempertanyakan keberadaan mereka. (Tahu diri, saya kan cuma tukang ojek....hehehe)

Sebagai mantan buruh pabrik yang juga korban PHK. Sedikit saya ingin memberikan 'obat penenang' kepada kawan-kawan buruh yang akan di PHK atau mungkin juga sudah ada yang di PHK. Maaf, saya tidak bermaksud menggurui. Tapi saya melihat masih ada celah bagi para buruh untuk memenangkan perselisihan ini. Artinya masih ada kesempatan bagi buruh agar terhindar dari rencana PHK massal ini.

Saya yakin dan percaya perusahaan melakukan PHK massal dengan alasan efisiensi berdasar pada dalil Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13/2003 Pasal-164 Ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut: "Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaab masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)."

 Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 19/PUU-IX/2011 perihal Pengujian Undang-Undang no. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD RI Tahun 1945 bahwa;

1. Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan BERTENTANGAN dengan Pasal 28D ayat (2) UUD RI Tahun 1945 sepanjang frasa "perusahaan tutup" tidak dimaknai 'perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup untuk tidak sementara waktu.

2.  Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada frasa "perusahaan tutup" TIDAK MEMILIKI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT sepanjang tidak dimaknai "perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup untuk tidak sementara waktu.

Nah, saya kira buruh yang diancam PHK oleh perusahaan dengan alasan efisiensi bisa berlindung pada Keputusan MK tersebut. Kecuali perusahaan tutup secara permanen.

Sebenarnya perusahaan melakukan efisiensi itu sah-sah saja untuk menyelamatkan perusahaan agar tetap bisa berjalan. Tapi tidak dengan serta merta langsung mem-PHK buruh sebelum melakukan tindakan yang lain seperti mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur, mengurangi shift; membatasi/menghapuskan kerja lembur; mengurangi jam kerja; mengurangi hari kerja; meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu; tidak memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya; memberikan pensiun bagi pekerja yang sudah memenuhi syarat. Karena pada hakikatnya tenaga kerja harus dipandang sebagai salah satu aset perusahaan, maka jika hanya efisiensi saja bukan karena penutupan perusahaan secara permanen, maka efisiensi semacam ini adalah sebuah kekeliruan yang tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan PHK.***

Photo;Nurul Poetry Galileo
"Pinjem gambarnya ya, neng....."

Selasa, 13 Januari 2015

Jendela Tak Berpintu

Oleh: Abu Gybran

















Bukan salah hujan ketika menerobos masuk lewat jendela
Jendela tak berpintu yang lama kesepian
Angin pun bebas masuk mengacak-acak isi ruangan
Ruang pengap diam dalam kebisuan

Jendela tak berpintu dan ruang pengap diam dalam kebisuan
Masa lalu berserakan dibiarkan tergeletak
Menyatu dalam sepi
Ditikam masa lalu yang menyakitkan

Pada dinding kusam, namamu masih terbaca samar
Ada ribuan tertoreh cerita tentang kita
Bahkan di sudut ruang masih menyisakan wangi tubuhmu
Satu dari pakaian tidurmu masih tergantung di kastok yang sudah rapuh

Bukan salah hujan dan tidak pula salah angin
Ketika kita terlempar jauh oleh keangkuhan
Kita telah kehilangan kepakkan sayap-sayap cinta
Kita adalah jendela tak berpintu itu.

(Tangerang, 13 Januari 2015)  

Minggu, 11 Januari 2015

Panjang Maulid RT.08 Taman Cikande

Oleh: Abu Gybran

Cikande, Tangerang (11/1)

Untuk kali pertama perayaan Panjang Maulid ada di Perumahan Taman Cikande. Kepanitiaan yang dibentuk oleh warga RT. 08 yang diketuai oleh Ustadz Hajiji dalam rangka memperingati Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW itu menarik untuk dilihat. Ya, menarik. Sebab bukan hanya nilai syi'ar Islam yang ada di dalamnya, tapi juga sebagai hiburan bagi masyarakat. Panjang maulid merupakan budaya masyarakat Banten, khususnya bagi masyarakat Serang. Untuk di daerah lain di Banten perayaan ini akan sulit dijumpai.

Panjang maulid atau disebut juga dengan 'ngeropok', mempunyai makna secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai 'ngeriung' atau kumpul-kumpul. Tapi secara umum panjang maulid diartikan sebagai bentuk sesajian yang disusun dalam (kerangka) perahu-perahuan atau kapal-kapalan yang memanjang. Dalam masyarakat Jawa tradisi ini disebut dengan 'gunung-gunungan'. Panjang maulid ini berisi berbagai macam makanan hingga sepatu, sandal, pakaian, sajadah, sarung yang dimuat pada kapal-kapalan tersebut. 

Uniknya, panjang maulid ini diarak keliling kampung dengan iringan musik rebana atau marawis. Kegembiraan masyarakat bisa terlihat dari iring-iringan yang mengikuti acara ini. Biasanya setelah panjang maulid selesai diarak, maka sesajian akan dibagikan pada masyarakat utamanya adalah makanan. 

Panjang maulid merupakan salah satu tradisi masyarakat Banten yang hampir tenggelam ditelan zaman. Tokoh masyarakat asli Banten seperti Ustadz Hajiji juga warga RT.08 Perumahan Taman Cikande yang berusaha menghidupkan kembali tradisi ini patut mendapatkan acungan jempol. Selamat untuk warga RT.08 atas upaya yang telah dilakukan. ***           

Rabu, 07 Januari 2015

Tarian Hujan di Akhir Desember

Oleh: Abu Gybran

















Belum mereda, masih menari hujan bersama angin
saat senja di akhir Desember
Banyak resah berkeliaran dalam hati yang melemah
Sulit dibedakan apakah hanya sekadar ujian atau kesalahan dalam menentukan pilihan?
Keputus-asaan kerap datang menyapa; sudah tidak ada harapan
Sudah habis tergerus keruhnya air ke arah hilir
Dibalik hujan, kusampirkan sepotong doa
Tuhan, sisakan sedikit saja napasku untuk menyelesaikan pekerjaan tertunda
Melukis lengkung senyum mereka yang berlindung di bawah telapak tanganku
Duh...aku jumawa !
Betapa mereka terlunta.
Dalam catatan mendekati penghujung jalan aku tersadarkan.

Tarian hujan di akhir Desember
Melukai hati tanpa ampun. Menghujam tajam tusukan pisau masa lalu
dalam balutan nafsu yang menipu. Duh....aku telah tertipu !
Kiranya memang pantas disematkan pada diri atas segala kejumawaan
Kesombongan, keangkuhan dan hitamnya jiwa dalam lumuran dosa
Basahi dan hujani aku.
Melarung kesialan pada keruhnya air ke arah hilir

Ini adalah akhir laku kesombongan, semoga
Saat hujan terhenti tak ada lagi ringis karena menahan dalamnya luka
Berdamai dengan diri
Memaknai tiap lembaran-lembaran yang sarat dengan guratan masa lalu
Melalui jendela kayu yang merapuh
Menatap hujan yang didera gelisah, melepaskan segala beban
Melarungkan amarah dan kesombongan
Pada air hujan yang mengalir ke hilir
Menapak pada jalan bijak sebagai upaya terakhir
memuliakan diri yang telah luluhlantak
Menikmati sisa nafas yang masih tersisa
dalam tarian hujan di akhir desember..

(Tangerang, 7 Januari 2015)