Minggu, 22 Agustus 2010

Ketiga Anakku


MITSUKO, GYBRAN DAN NAGATA

Oleh: Abu Gybram

















Kehadiran mereka adalah buah dari segala kerinduanku. Betapa tidak, rumahku sekarang seperti asrama tentara, ramai. Terlebih kalau pagi pada saat Mitsuko (7) dan Gybran (6) bersiap untuk berangkat sekolah, huh...!!! seru. Kalau sudah begini, mamahnya yang repot ditambah Nagata (2) ngambek ingin ikut sekolah sama kaka-kakanya.

"Gimana, semuanya sudah siap?" tanyaku sedikit agak teriak.
"Ayo berangkaaat",..............  

Aku sangat mencintai mereka. Setidaknya merekalah yang bakal meneruskan cerita kehidupanku. Bersambung terus hingga matahari terbit di barat. ***

Minggu, 08 Agustus 2010

Lingkungan

MENGUBAH MUSIBAH 
MENJADI BERKAH
Oleh: Abu Gybran

Dibalik musibah yang terjadi beberapa bulan terakhir ini sepanjang musim penghujan, yakni banjir yang menjadi langganan daerah-daerah rendah seperti Jakarta. Ternyata kalau kita kaji secara dalam, dibalik musibah banyak hikmah yang bisa didapat. Setidaknya ada dua hal yang mendasar yang kita bisa ambil hikmahnya.

Pertama; musibah yang terjadi merupakan teguran dari Sang Maha Pencipta agar kita lebih arif dalam memperlakukan alam lingkungan. Walau pada dasarnya musibah yang terjadi seringkali akibat dari perbuatan manusia itu sendiri. Maka dengan demikian diharapkan manusia bisa mengambil pelajaran dan menyadari bahwa alam akan banyak memberikan manfaat jika diperlakukan dengan baik, juga demikian sebaliknya.

Kedua; sebagai makhluk yang berakal sebenarnya secara tidak langsung kita diajak olah Sang Maha Pencipta untuk berpikir bukan hanya agar musibah itu tidak terulang kembali, tapi ada banyak kebaikan yang bisa digali dari musibah itu sendiri. Artinya kita senantiasa dituntut untuk selalu berpikir membuat perubahan-perubahan kearah yang lebih baik dalam sutuasi dan kondisi apapun. 

Banjir Musibah Langganan?.......

Banjir boleh dibilang merupakan musibah langganan yang kerap kali kita saksikan saat musim penghujan tiba. Sepintas agak menggelikan saya mendengarnya. Betapa tidak, seolah kita tidak berpikir atau barangkali sudah buntu cara berpikir kita untuk mengatasi persoalan ini. Padahal musibah banjir ini telah  seringkali  membuat manusia bukan hanya kehilangan harta benda tapi telah banyak pula merenggut korban jiwa. Khususnya di Jabodetabek, banjir merupakan 'pelanggan' setia ditiap tahunnya.

Sebagaimana telah saya singgung dimuka, bahwa perilaku manusia yang kurang baik terhadap alam merupakan sebagai penyumbang terbesar dalam musibah langganan ini. Bukan hanya pengrusakan hutan dihulu sungai tapi pemukiman penduduk yang merambah bantalan sungai, sampah rumah tangga dan industri juga ruang tata  letak kota yang terkesan dibuat asal-asalan tanpa dilengkapi drainase yang memadai.   

Jutaan debit air yang mengalir ke sungai  pada musim hujan menggerus dan mengahanyutkan apa saja yang dilewatinya termasuk longsoran tanah yang terkikis dan kemudian mengendap. Endapan tanah atau apapun yang mengendap di sungai mengakibatkan pendangkalan permanen jika tidak ditangani secara serius.

Mengubah Musibah menjadi Berkah, 
Pemanfaatan Lumpur Sungai

Ketika saya menyaksikan Dinas Kebersihan Pemda DKI melakukan pengerukan sungai Ciliwung yang membelah kota Jakarta beberapa tahun yang lalu, saya melihat jutaan ton lumpur hitam yang berhasil dikeruk. Dan hasil kerukan dibuang atau untuk menguruk lahan kosong yang semakin  menyusut jumlahnya,  Padahal  lumpur sungai bisa gunakan untuk hal yang lainnya seperti yang paling sederhana adalah  membuat batu bata dan genting setelah melalui tahapan proses yang juga sangat sederhana.

Lumpur  yang masih mempunyai kadar air tinggi, dikeringkan jangan terlalu encer hingga mudah untuk proses pencetakkan. Hasil pencetakkan batu bata atau genting dikeringkan / dijemur menggunakan panas matahari hingga proses pembakaran.

Walau tidak sepenuhnya saya memahami soal tanah, tapi saya mengerti betul soal lumpur ini. Material lumpur sungai yang warnanya hitam itu adalah tanah yang lembut bercampur pasir halus karena sudah melalui proses penyaringan yakni pengendapan. Pengalaman 23 tahun kerja di perusahaan keramik yang telah menuntun saya melakukan uji coba terhadap lumpur semacam ini beberapa tahun yang silam. Waktu saya bakar dengan suhu temperatur 800 hingga 900 derajat celcius hasilnya cukup memuaskan; bahwa lumpur sungai bisa menghasilkan batu bata atau genting dengan kualitas cukup baik.

Sebagai bahan bakarnya adalah cukup memanfaatkan sampah terutama kayu yang terbawa hanyut. Artinya kalaupun pembakaran menggunakan bahan bakar minyak atau gas bisa dilakukan sehemat mungkin. Karena proses pembakaran efektifnya memang menggunakan bahan bakar minyak atau gas.

Meraup Keuntungan Lain

Andai konsep yang sederhana ini bisa dilakukan oleh pemda DKI atau pemda lainya yang sering dihadapkan pada persoalan banjir akibat meluapnya sungai, saya punya keyakinan, disamping menghindari musibah banjir yang sering kali berulang, ada banyak keuntungan lain yang bisa diraup pemda tanpa harus mengeluarkan biaya mahal yang diambil dari APBD.

Pertama: Hasil produksi batu bata atau genting bisa digunakan untuk program perumahan bagi rakyat miskin dengan harga murah. Kedua: Terciptanya lapangan pekerjaan sehingga bisa mengurangi jumlah pengangguran yang juga menjadi masalah sosial bagi pemerintah. Ketiga: Efisiensi penggunaan bahan bakar minyak atau gas seperti telah disinggung diatas, karena bahan bakar telah tersedia yakni sampah terutama kayu yang hanyut disungai yang mencapai 900 m3 perharinya. Keempat: Sungai akan selalu bersih karena dengan sendirinya akan dikeruk secara priodik untuk mendapatkan bahan baku produksi. Kelima: Transportasi sungai bisa dilakukan untuk mengurangi kepadatan transportasi darat seperti yang pernah dilakukan pemda DKI walau kemudian berhenti beroprasi karena hambatan sampah yang tidak tertangani dengan baik. Keenam: Peluang yang cukup besar jika dikemudian hari sungai dapat dikembangkan menjadi tempat wisata air sungai tengah kota atau lainnya.

Pemerintah dalam memproses pemanfaatan lumpur sungai ini tinggal menyediakan fasilitas tempat dan sarana penunjang lainnya melalui biaya anggaran APBN/APBD.

Sekadar Retorika 

Saya pernah menawarkan konsep sederhana ini pada salah seorang team kampanye calon Bupati Kabupaten Tangerang, saat pemilu kada 20 Januari 2008, tapi ditolak mentah-mentah. Menurutnya, konsep yang bertemakan lingkungan tidak popular di masyarakat dan diyakini sulit untuk mampu mendongkrak perolehan suara. Saya hanya tersenyum dan bergumam: "Pantas".........Ya, pantas saja kalau ketika kampanye pemilu kita sering menyaksikan rakyat hanya disuguhi janji-janji sekolah gratis, kesehatan gratis, lapangan pekerjaan yang mudah dan janji-janji lainnya tanpa konsep yang jelas sehingga hasilnyapun bisa ditebak, gak jelas...!!?? Saya pikir, hanya sekadar retorika belaka karena memang hasilnya seringkali 'jauh panggang dari api'.

Harapan

Saya banyak berharap hingga kini, semoga konsep sederhana ini mampu menggugah saudara-saudara yang peduli terhadap lingkungan terutama pemerintah terkait. Karena hal yang sangat bijak tentu saja senantiasa berlaku arif terhadap alam lingkungan sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 41. Semoga......***