Selasa, 18 Mei 2010

Kisah: Air Mata Seorang Ayah


Oleh: Abu Gybran

Kecintaan seorang ibu terhadap anaknya sering dilukiskan bagai kasih sepanjang zaman. Tidak lekang karena panas dan tidak luntur karena hujan. Bahkan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya sulit dicari bandingannya. Lantas bagaimana kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya? Setahu saya, ayahlah yang biasanya 'ngotot' menginginkan kelahiran seorang anak dalam sebuah rumah tangga. Tapi dalam hal ini (urusan anak) saya menyaksikan kasih sayang seorang ayah sering dinomor duakan. Alasannya; ayah tidak selembut ibu. Benarkah demikian?..........

Adalah seorang ayah yang usianya sudah tidak muda lagi. Telah mendapatkan sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang dirindu dan dinantikan kelahirannya. Kegembiraan dan rasa syukurnya tak henti-hentinya dipanjatkan kepada sang Maha Pencipta yang telah memberikan kepadanya seorang bayi laki-laki dari seorang isteri yang amat dicintainya, Mariyah binti Syam'un. Seorang gadis bekas budak seorang raja Muqauqis, raja Mesir, yang dihadiahkan dan kemudian dinikahinya.

Bayi laki-laki itu diberi nama Ibrahim. Karena kemiripan wajahnya dengan sang ayah, Ibrahim sangat dicintai ayahnya. Dalam pertumbuhannya kecintaan ayah semakin menjadi-jadi. Betapa tidak, karena sekian lama dia mengharapkan kelahiran anak laki-laki.

Sebenarnya sang ayah disamping telah mempunyai beberapa anak perempuan, pernah pula mempunyai dua anak laki-laki, Al-Qosim dan Abdulah dari isteri pertamanya. Namun Allah telah memanggil keduanya sewaktu masih kecil.

Dalam kesibukannya, setiap kali selesai melaksanakan tugas, maka selalu disempatkannya untuk menggendong dan bercanda dengan Ibrahim yang lucu dan menggemaskan. Kehebatan sang ayah adalah pandai membagi waktu untuk keluarganya khususnya pada anaknya yang amat dicintainya itu, padahal tugas dan pekerjaannya sangat padat.

Akan tetapi kecintaan sang ayah kepada puteranya tidak dikekalkan oleh Allah. Sang Maha Pencipta telah berkehendak lain. Ibrahim jatuh sakit.

Ketika mengetahui puteranya sakit, dia amat tidak berdaya, seluruh tubuhnya menjadi lemas, bahkan untuk berjalanpun dia harus berpegangan pada sahabatnya yang setia, Abdurahman bin 'Auf.

Dalam sakitnya Ibrahim yang semakin parah itu, dia berusaha untuk menggendongnya. Dipeluknya Ibrahim dengan kedua tangannya yang gemetar. Kemudian diletakan dalam pangkuannya. Karena saking terharunya, sehingga air mukanya berubah menjadi muram. Dalam kepasrahannya dia berkata:

"Sesungguhnya aku, hai Ibrahim tidak mampu menolong, sesungguhnya engkau dari Allah"

Tanpa disadarinya, air mata yang tadinya berusaha dibendung tak tertahankan lagi. Mengalir membasahi pipinya. Sementara ajal telah menghampiri Ibrahim dan Allah telah memanggilnya. Ibrahim meninggal dalam pangkuan sang ayah yang sangat mencintainya. Ibunyapun menangis, meratapi puteranya yang masih dalam pangkuan suaminya. Dan diapun membiarkan isterinya menangis.

Ketika Ibrahim sudah benar-benar tidak bergerak lagi, air matanya semakin deras dan tanpa satu suarapun yang keluar dari mulutnya. Kemudian dia berkata kepada puteranya yang telah meninggal itu dengan pelan sekali yang hanya terdengar oleh orang yang ada didekatnya;

"Hai Ibrahim, jika ini bukan perintah yang benar dan janji yang betul dan sesungguhnya kami yang terkemudian akan menyusul orang-orang yang mendahului kami, niscaya kami akan berduka cita terhadap kematian engkau yang lebih sangat dari ini"

Kemudian dia diam sejenak dengan tenang dan selanjutnya berkata lagi;

"Bahwasannya mata berlinang dan hati berduka cita, dan kami tidak berkata melainkan apa yang diridhoi Tuhan kami, dan sesungguhnya kami sangat berduka cita, sebab berpisah dengan engkau, hai Ibrahim"

Oleh karena kedukaan dan tangis sang ayah, terlihat demikian jelasnya oleh orang-orang yang berada disekitarnya saat itu, maka ada salah seorang yang berkata; "Mengapa engkau menangis, bukankah engkau pernah melarang kami menangisi orang yang mati?"......

Mendengar ini maka diapun menjawab:

"Aku tidak pernah melarang berduka cita, tapi yang aku larang adalah mengangkat suara dengan menangis. Bahwasannya apa-apa yang kalian lihat kepadaku, adalah bekas yang terkandung didalam hati dari rasa cinta dan kasih sayang. Barang siapa yang tidak menyatakan kasih sayang, orang lain tidak akan menyatakan kasih sayang terhadapnya".

Dengan penjelasan ini maka terdiamlah orang-orang yang ada pada saat itu. Dan hebatnya lagi, ketika dia melihat isterinya sangat berat melepas kepergian anaknya, maka diapun berusaha menghibur untuk meringankan dukanya. Dalam keadan dirasa sangat sulit, hatinya tetap tegar dalam kepasrahan terhadap Al-Kholiq. Kepergian putera yang amat dicintainya tidak menggoyahkan keimanannya sedikitpun.

Air mata ayah untuk anaknya dalam hal ini sulit dicari bandingannya. Kelembutannya tidak kalah dari seorang ibu. Kasih serta sayangnya begitu besar mengantarkan kepergian anaknya kepada yang Maha Kekal. Ayah itu bernama Muhammad saw........***




Tidak ada komentar: