Senin, 16 Juli 2012

Cerber: HITAM PUTIH SUMIRAH (1)

Menyasar Taman Sari
Oleh: Abu Gybran

Disudut Kota Serang, senja belum begitu jauh meninggalkan hari yang mulai beringsut temaram. Hasan Basri bergegas menyusuri Jalan Tirtayasa yang basah karena hujan. Lampu penerangan jalan banyak yang mati. Sampah yang berserakan bertingkah genit, bermain-main dengan angin. Gerobak-gerobak pedagang kaki lima yang berderet dikiri dan kanan jalan hampir memakan seluruh ruas jalan, terkesan betapa semerawutnya sudut kota. Potret kehidupan yang masih dianggap wajar karena hampir bisa dijumpai disetiap sudut kota di negeri ini. 

Hasan Basri yang lebih akrab dipanggil Ibas itu, sesekali melompat menghindari genangan air. Dalam benaknya saat itu hanya ada satu tujuan; dia harus bertemu seseorang. Ya, seseorang yang akan dia mintai keterangannya perihal kehidupan malam. Ibas sedang melakukan perburuan untuk melengkapi cerita novelnya yang pertama. Sebenarnya dia sudah lama ingin mengangkat cerita dibalik kisah perempuan-perempuan malam pada sisi yang lain, yang berbeda. Bukan hanya transaksi esek-esek yang memang menjadi salah satu pekerjaan mereka, dia meyakini dibalik itu semua pasti ada sisi baik yang mereka kerjakan. Tidak melulu semuanya hitam.

Pada sisi yang lain, Ibas pun sering menyaksikan perlakuan yang diskriminatif dalam masyarakat luas terhadap perempuan malam ketika mereka berusaha untuk bertobat. Dalam pandangan Ibas, semestinya masyarakat ikut peduli membantu mereka mendapatkan haknya kembali pada kehidupan normal. Bukan mencibir dan memojokkan mereka. Ibas ingin membuktikan; bahwa seburuk-buruknya manusia selalu punya keinginan untuk kembali pada kehidupan yang normal. 

Jam di tangannya menunjukkan pukul 19:00 saat dia sampai disebuah tempat yang dia tuju, yaitu Taman Sari. Sebuah taman yang tidak terlalu luas yang terletak tidak begitu jauh dari statsiun kereta api Serang. Taman kota yang bila malam berubah menjadi 'koloni' tempat mangkalnya perempuan-perempuan penjaja sek kenikmatan sesaat dan tempat waria mencari mangsa. Padahal menurut sejumlah pedagang kaki lima, petugas Satuan Polisi Pamong Praja sering melakukan razia penertiban terhadap mereka yang mangkal ditempat ini. Namun penyakit kambuhan masyarakat ini hanya hilang sesaat kemudian menjamurt lagi. Siapa yang harus disalahkan? Ketika mereka melakukan aktivitas seperti ini karena tuntutan ekonomi, karena terpaksa.

Sesaat Ibas celingukkan, bingung. Dia tidak tahu siapa yang harus dan bisa diajak bicara? Pandangannya kurang jelas karena lampu taman banyak yang mati. Tempat-tempat duduk di taman satupun tidak ada yang kosong, bahkan dia menyaksikan tidak sedikit pasangan yang menurutnya tidak muda lagi menggelar koran dipojokkan taman hanya untuk kencan. Baginya ini adalah pandangan dan pengalaman pertama dalam hidupnya.

"Cari teman kencan, ya, mas?" Tanya seorang perempuan yang menghampirinya dari arah belakang. Ibas berbalik dan pandangannya menelisik sesaat pada si penanya. Dalam keremangan malam dia dapat memastikan bahwa yang mendekatinya adalah perempuan muda dengan rambut sebahu dan mengenakan T-shirt ketat sampai jelas tergambar lekuk tubuhnya. Penampilan perempuan itu makin ngejreng dengan sepatu hak tingginya.      

"Ya," jawab Ibas singkat. Sesaat dia gelagapan dan sedikit gemetaran. Namun untungnya dia segera dapat menguasai keadaan. Pemandangan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Sebab dia dilahirkan dan dibesarkan ditengah lingkungan yang agamis. Hingga dia berkeluarga, baru memilih tempat tinggal yang jauh dari kampung halamannya. Rumah sederhana yang tidak begitu jauh dari tempat kerjanya. Bahkan kakenya merupakan seorang pemimpin pondok pesantren yang terletak diselatan Banten. Dan dia adalah salah seorang alumni pesantren itu.

"Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kebetulan, mas. Aku lagi kosong, nih," ujar perempuan yang tadi menyapanya manja. "Namaku Nita, mas," lanjutnya lembut sambil menyodorkan tangan.

Ibas berusaha bersikap akrab dan langsung menjabat tangan Nita yang baru dikenalnya itu. Sebenarnya hatinya merasa berat karena dia tahu perempuan yang dijabat tangannya itu bukan muhrim. "Astaghfirallah, aku telah berbuat kesalahan," dia membatin penuh penyesalan.   

Ibas tidak langsung menyebutkan namanya. Dia diam sesaat. Dia seperti merasakan keganjilan saat mendengar dan gaya bicara Nita. Seperti dibuat-buat. "Wah, jangan-jangan perempuan yang ada dihadapanku ini seorang banci," kembali hati kecilnya membatin penuh selidik. Dia segera menarik tangannya. Saat itu, jabatan tangan Nita erat sekali.

"Ah, tidak. Aku kesini mencari temanku," Ibas beralasan.
"Gak usah malu-malu begitu, sih, mas."
"Benar, sungguh aku hanya mencari temanku," tegas Ibas.
"Ih, si mas ini, bikin gemas, deh."

Nita berusaha memeluk Ibas, karena dia melihat Ibas berusaha menghindarinya. Ibas memang berusaha mengelak sambil menepiskan kedua tangannya perlahan. Dia berusaha begitu agar Nita tidak merasa tersinggung. Tapi Nita ngotot, bahkan makin menggila menarik-narik tangan Ibas. Suaranya sudah tidak terkontrol lagi, seperti bukan suara perempuan."Ah, dugaanku benar, dia memang waria."

Nita memang benar waria atau sering disebut banci. Mahluk yang selama ini oleh Ibas dianggap mahluk yang paling aneh. Menurutnya aneh karena orang seperti Nita, ko, bisa merasa nyaman dengan penyimpangan sek yang menderanya. Disengaja ataupun tidak disengaja penyimpangan sek adalah tetap salah dan berdosa besar dalam pandangan agama yang diyakini Ibas. Menurutnya, penyimpangan sek ini bukan kehendak Tuhan....!!! Tapi orang yang sakit jiwanya.

Nita terus berusaha memaksa dan Ibas benar-benar berontak. Dia lari meninggalkan tempat itu sambil mengucap istighfar berkali-kali. Seperti maling yang dikejar massa. Napasnya putus-putus. Untungnya dia bisa terbebas dari pelukkan dan kejaran banci pada malam naas itu.

Walau rencananya malam itu gagal, tapi setidaknya dia sudah mendapat gambaran sedikit bahwa kehidupan perempuan-perempuan malam itu sebenarnya tidak nyaman, keras dan sarat dengan persaingan. Terlebih bagi seorang Nita, seorang banci yang harus merombak penampilannya agar telihat cantik seperti perempuan sungguhan. Tentu untuk keperluan semua itu, Nita harus mengeluarkan biaya yang tida sedikit, sebab kalau sekadar dandan asal-asalan,....hehehehe....pasti pelanggannya banyak yang lari.

Kehidupan perempuan-perempuan malam yang kali pertama Ibas saksikan di Taman Sari, tidak seindah bulan purnama dan seharum bunga sedap malam. Penuh rekayasa. Hidup dalam lingkaran kebohongan. Penuh kepalsuan. Dan Ibas akan terus berusaha untuk mencari tahu lebih jauh dari apa yang telah ia dapatkan malam itu. Malam di salahsatu sudut Kota Serang, di Taman Sari. ***  (Bersambung)


Tidak ada komentar: