Jumat, 08 November 2013

Bolehkah Perusahaan Menangguhkan Upah Minimum?

Oleh: Abu Gybran

Judul tulisan ini barangkali tidak disukai oleh kalangan buruh. Buruh yang mana sih, yang mau upahnya dibayarkan oleh pengusaha di bawah upah minimum yang telah disepakati dan disahkan oleh Gubernur? Saya rasa pasti semua buruh menolaknya. Tapi faktanya memang ada perusahaan yang menangguhkan besaran upah minimum di setip tahunnya.

Lantas pertanyaannya; bolehkah perusahaan menangguhkan pelaksanaan upah minimum? Saya terpaksa harus menjawabnya, boleh. Sebab Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13/2003 pasal 90 ayat 2 yang pelaksanaannya diatur dalam Kepmen No. 231/MEN/2003 tentang Tatacara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum, dengan gamblang telah mengatur masalah ini.

Namun dalam pelaksanaannya seringkali tidak mulus. Penangguhan upah minimum yang dilakukan oleh perusahaan kerap kali tidak berkesudahan atau tidak terpenuhinya syarat-syarat hukum yang telah ditentukan. (Walaupun tidak semua perusahaan berlaku curang terhadap buruhnya). Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya perselisihan antara majikan dan buruh.

Perundingan Seringkali Menemukan Jalan Buntu
Jika sudah menyangkut masalah upah yang diperselisihkan, sedikit sekali yang bisa selesai dalam perundingan bipartit antara majikan dan buruhnya. Perselisihan masalah ini lebih banyak diselesaikan hingga Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Seperti yang sudah saya singgung di atas, tidak semua perusahaan berlaku curang terhadap buruhnya. Ada perusahaan yang 'dapurnya' terbuka bagi buruhnya, termasuk soal keuangan perusahaan. Namun hal ini pun belum tentu ditanggapi positif oleh buruh, terlebih jika perusahaan berencana untuk menangguhkan besaran upah minimum. Perselisihan hingga melibatkan pemerintah pun (tripartit), tidak selalu mulus bahkan menemukan jalan buntu.

Menurut pengetahuan saya, hingga kini buruh selalu berprasangka bahwa keterlibatan pemerintah dalam perselisihan akan selalu berpihak pada pengusaha. Jika ini benar, tentu persoalan perburuhan tidak akan menemukan titik temunya. Semestinya tiga lembaga dalam upaya menyelesaikan persoalan perburuhan ini bisa bersinergi untuk sebuah kesejahteraan terutama buruh, tentu hasilnya akan jauh lebih baik.

Berpikir Realistis dan Tidak Mengedepankan Ego
Saya pernah berhadapan dengan seorang manajer di sebuah perusahaan di mana dia diberikan kepercayaan oleh pimpinan perusahaan dalam menentukan besaran upah buruhnya. Saya marah, sebab waktu diskusi dengan saya, dia mengatakan bahwa buruhnya memang dibayar dengan upah jauh di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK). Sewaktu saya mempersoalkan pelanggaran ini, dia bilang tidak ada masalah dengan buruhnya? Alasannya; buruhnya juga mau kok dibayar segitu, jadi kenapa harus dipersoalkan?

Syarat-syarat hukum dalam penangguhan upah minimum sama sekali tidak diliriknya. Ketika buruhnya memperselisihkan masalah ini, dia, sebut saja namanya Pak Tejo. Manajer yang diberi kepercayaan oleh pimpinan perusahaan itu dengan entengnya mengatakan;"Kalau mau dibayar segitu silakan kerja, kalau gak mau silakan keluar."

Perusahaan semacam ini, yang manajernya Pak Tejo itu, asal jeplak saja dalam mengelola sistem pengupahan yang menurutnya benar itu.. Pak Tejo cenderung mengedepankan ego agar dinilai plus oleh pimpinan perusahaan; mengeluarkan upah murah demi meraih keuntungan yang besar. Jabatan Pak Tejo memang kinclong di mata perusahaan, tapi saya yakin perusahaan semacam ini akan ambruk dalam waktu dekat.   

Juga sebagaimana yang sering kita saksikan manakala buruh atau Serikat Buruh melakukan aksi unjuk rasa menuntut kenaikkan upah, seakan melupakan indikator-indikator tentang penilaian yang mempengaruhi besaran kenaikan upah (Kepmen No.13 tahun 2012). Buruh seakan tidak puas dengan besaran upah yang diputuskan oleh Dewan Pengupahan yang didalamnya ada keterwakilan buruh.

Kadang juga, ada tuntutan buruh yang dinilai oleh kalangan pengusaha cenderung tidak realistis, terlalu mengada-ada dan tidak dibarengi dengan peningkatan produktifitas. Kata-kata harga mati yang harus direalisasikan oleh pengusaha terkait kenaikan upah (sepihak) oleh buruh, mencerminkan betapa jauhnya kemitraan di antara keduanya. Dengan mengesampingkan keputusan Dewan Pengupahan, bisa diartikan Serikat Buruh mengesampingkan pula keterwakilannya. Dalam menyikapi hal ini pengusaha sering mengatakan; Lantas untuk apa seorang wakil buruh yang telah disepakati duduk di Dewan Pengupahan tersebut?

Padahal bukan tanpa sebab pula buruh melakukan aksi menuntut kembali kenaikan upah setelah besaran upah diputuskan oleh Dewan Pengupahan Provinsi atau Kabupaten/Kota (DPP/DPK/K), biasanya setelah kenaikan upah diputuskan; kenaikan harga kebutuhan pokok ikut naik. Bahkan kenaikan harga kebutuhan pokok melebihi kenaikan upah. Hal ini yang kerap kali memicu buruh menuntut kembali kenaikan upah. Semestinya harus ada upaya pemerintah untuk menahan laju kenaikan harga kebutuhan pokok agar buruh bisa menikmati upah barunya.   

Pengusaha, buruh dan tentunya pemerintah sebagai 'wasit' berpikir realistis dalam mejalankan perannya masing-masing dengan tidak mengedepankan ego. Membangun kemitraan yang bersinergi dengan membuang segala bentuk prasangka buruk. Saya sering mendengar kata-kata baik yang diucapkan oleh pengusaha atau pun buruh saat dalam perundingan; "Jangan ada dusta di antara kita." Seyogyanya memang kata-kata ini bukan hanya pemanis kata, tapi dijadikan dasar dalam membangun kemitraan yang sebenarnya.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan kata-kata, bahwa jika dalam penyelesaian perselisihan perburuhan antara buruh dan pengusaha dengan mengedepankan ego masing-masing; "itu artinya sama saja membakar ladang jagung sendiri." ***

Tidak ada komentar: