Jumat, 23 Juli 2010

Sistem Kerja Kontrak Dan Outsourcing




    Lagi, Menyoal Sistem Kerja 
Kontrak dan Outsourcing
Oleh: Abu Gybran

Lena; "Saya Pasrah".....

"Saya pasrah, yang terpenting bagi saya adalah bisa bekerja. Saya menyadari untuk mendapatkan pekerjaan sekarang ini tidak mudah", ungkapnya saat ditanya tentang status kerjanya beberapa waktu yang lalu.

Lena,adalah salah seorang buruh kontrak/outsourcing dari PT.Kasa yang ditempatkan kerja di PT.Pearland, Tangerang, Banten.

Sistem kerja kontrak dan outsourcing, bukan hal yang baru dalam dunia industri. Walau banyak mendapat protes dari hampir seluruh Serikat Buruh, sistem ini terus melenggang dengan berbagai macam tindakan pelangggaran dan tipu muslihat bagi perusahaan pengguna dan pemberi kerja.

Pelanggaran yang jelas-jelas nyata dilakukan oleh banyak perusahaan adalah "kerja kontrak tanpa batas waktu" tidak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 13/2003 Pasal 59 ayat (4) dan (6). Agar tidak nampak pelanggaran, buruh yang sudah habis masa kontrak kerjanya; diputus atau lebih tepatnya adalah dialihkan pada perusahaan jasa tenaga kerja yang lain sementara  buruh masih ditempat kerja yang sama. Padahal ini sekadar tipu muslihat sebab perusahaan jasa itu hanya ganti nama tapi pemilik dan pengurusnya tetap sama. "Sim salabim abra kadabra", maka yang terjadi adalah status buruh kembali pada kontrak kerja pertama.


Yang lebih mencengangkan adalah menteri tenaga kerja dan transmigrasi, Muhaimin Iskandar, mengetahui persoalan ini. Menurut pengakuannya bahwa memang ada masalah dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing, banyak pasal-pasal yang terkandung dalam Undang-Undang ketenagakerjaan No. 13/2003 yang tidak berpihak kepada buruh. Namun lanjutnya, tanpa alasan yang jelas dia mengatakan semua pihak hendaknya tidak tergesa-gesa untuk segera merevisi Undang-Undang ini(Kompas,Mei 2010).

Pengawas dari Dinas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota, yang merupakan garda terdepan dari instansi pemerintah dalam hal ketenagakerjaan , terkesan tutup mata dari persoalan yang dihadapi buruh saat ini. Padahal setiap habis masa kontrak kerja atau kontrak kerja baru bagi buruh, perusahaan pemberi kerja melaporkan hal ini kepada Disnaker dalam bentuk format Wajib Lapor Ketenagakerjaan. 

Bisa ditebak, dalam proses untuk mendapatkan legalitas Wajib Lapor Ketenagakerjaan merupakan tempat terjadinya kompromi antara Pengurus Perusahaan dan Pengawas ketenagakerjaan,Disnaker.

Terpaksa Harus Menerima

Kepasrahan Lena, dalam menerima sistem kerja kontrak/outsourcing bukanlah 'pasrah' atas keikhlasan hati tapi karena ketidak-mengertian dan keterpaksaan. Bukan hanya Lena seorang tapi ribuan buruh telah terjebak dalam kukungan hukum yang tidak memihak dan cenderung sengaja dikondisikan oleh dua kekuatan, pengusaha dan penguasa. Baik disadari atau tidak tapi inilah fakta, sebuah fenomena ketidak-adilan dalam tatanan hukum perburuhan saat ini. 

Kondisi seperti ini telah banyak melahirkan dampak lain yang harus diterima oleh buruh. Angkatan kerja yang tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan, telah ikut andil dalam melanggengkan sistem kerja kontrak/outsourcing. Dalam benak Lena dan tidak tertutup kemungkinan buruh yang lainnya juga,akan terus berpegang pada prinsip 'yang penting kerja'.

Belum lagi kebijakan pemerintah terhadap kenaikan Tarif Dasar Listrik dipertengahan tahun 2010, dampaknya adalah sejumlah perusahaan telah siap-siap untuk mem-PHK buruhnya.Artinya hal ini akan menambah daftar jumlah pengangguran.

Sulitnya lapangan pekerjaan, juga dimanfaatkan oleh para calo tenaga kerja, tepatnya adalah preman yang mempunyai hubungan dengan oknum orang-orang perusahaan baik langsung maupun tidak  dengan memungut sejumlah uang kepada para pelamar kerja. Para calo ini mudah dikenali, karena hampir setiap hari mereka nongkrong didepan pabrik. Penampilan mereka juga beragam, ada yang berpakaian seperti layaknya staf pabrik, ada yang berpakaian seperti pegawai kelurahan, ada yang memang tampangnya preman dengan rambut sedikt gondrong ( biasanya mengaku keamanan luar ) dan bahkan ada yang tampangnya seperti ustadz yang selalu mengenakan peci.

Sekali lagi, bukan hal yang baru bagi pelamar kerja mengeluarkan sejumlah uang kepada calo; baik kepada oknum aparat pemerintah, perusahaan dan preman. Tapi ini selalu ditempuh oleh para pelamar kerja walau tidak sedikit diantara mereka yang tertipu. Mereka hanya ingin mendapatkan kerja yang semestinya memang hak mereka untuk mendapatkannya tanpa harus membeli pekerjaan itu.

Peran Pemerintah 
Dan Wakil Rakyat

Sampai kapan kondisi buruk ini berubah kearah perbaikan? Sampai  kapan Lena dan kawan-kawan buruh yang lain mampu bertahan dalam kukungan hukum yang tidak memihak mereka? 

Pemerintah dan wakil rakyat semestinya mampu menangkap dengan cermat segala aspirasi rakyat khususnya dalam hal ini adalah buruh. Bukan hanya sekadar mengumbar janji saat pemilu. Kehidupan buruh perlu perbaikan yang tidak hanya berkutat pada persoalan upah murah. Jaminan sosial, pendidikan dan kesehatan bagi buruh dan keluarganya. Dan yang terpenting adalah kepastian hukum yang memihak dan berkeadilan bagi semua.

Lena dan kawan-kawan buruh kontrak/outsourcing yang lain menunggu peran pemerintah dan wakil rakyat untuk segera memperbaiki kondisi yang kurang menguntungkan mereka ini. Lena ingin tidur nyenyak dan bermimpi indah tanpa digelayuti kecemasan esok hari masih kerja atau tidak.***

Tidak ada komentar: