Senin, 26 Juli 2010

Buruh Itu Makannya Di Warteg

Solidaritas Buruh 
Tumbuh Di Warteg
Oleh: Abu Gybran

Siapa yang tidak kenal dengan warung tegal atau yang lebih populer dengan sebutan warteg? Warung nasi yang senantiasa menjadi langganan buruh tiap jam istirahat makan siang. Bukan karena menu masakannya yang menjadi buruan buruh pabrik, tapi karena murahnya. Satu piring nasi dengan telur dadar ditambah sayur, pelanggan cukup merogoh kocek Rp 5000. Kalau ingin makan agak enakan dengan lauk ikan atau daging ayam, cukup dengan Rp 8000. Tapi jarang sekali buruh memilih menu ini karena dianggap masih mahal? 
  
Tidak sulit untuk makan diwarteg karena memang lokasinya  selalu  berdekatan dengan jarak pabrik atau berada di pasar , terminal dan tempat yang dianggap setrategis yakni berdekatan dengan pangkalan ojek. Keberadaan warteg selalu identik dengan kesan 'murah meriah'. Sehingga tidak berlebihan jika masyarakat yang berpenghasilan pas-pasan seperti buruh, menjadikan warteg sebagai warung paporit. Prinsip mereka adalah yang penting perut kenyang untuk tetap bisa beraktifitas. 

Akrobatik 
Kaitannya dengan upah buruh, keberadaan warteg sangat membantu dalam pengaturan pengeluaran keuangan buruh yang tidak selalu jauh beranjak dari besaran Upah Minimum Kabupaten/Kota. 

Bagi kami, ungkap Ade Sudarja, seorang buruh pabrik di Kawasan Industri Balaraja, Tangerang yang ditemui belum lama ini, makan di rumah makan mewah baru sebatas mimpi. Jangan 'kan rumah makan mewah, lanjutnya, untuk rumah makan sekelas rumah makan padang saja, wah, bisa upah sebulan habis hanya untuk makan. 


Buruh memang harus secermat dan sehemat mungkin mengatur pengeluaran keuangannya. Terlebih bagi buruh kontrak/outsorcing yang upahnya hanya sebatas dan bahkan ada yang kurang dari besaran UMK, harus pandai berakrobatik seperti yang dilakukan oleh Ade Sudarja. Sebagai buruh kontrak/outsourcing dengan  seorang isteri dan dua anaknya, nampaknya memang sangat mustahil mengatur upah yang besarnya satu juta seratus dua puluh lima ribu rupiah untuk bisa dikatakan cukup dalam satu bulan. Menurut pengakuannya, dia lebih mementingkan kebutuhan sekolah kedua anaknya. Untuk keperluan yang lain, lanjutnya, itu bisa nanti. Saat ditanya kapan? Jawabnya, sampai tak bisa mimpi lagi.

Solidaritas Buruh Tumbuh Di Warteg
Sebuah potret antara warteg dan kehidupan buruh, nampaknya akan senantiasa hidup berdampingan. Bagi buruh sendiri warteg bukan hanya tempat untuk mengisi perut, tapi juga tempat untuk berbagi cerita dengan yang lainnya. Solidaritas dan persaudaraan tumbuh secara alami karena merasa satu nasib. Bukan hanya antar buruh tapi juga dengan pemilik warteg. Tidak sedikit buruh yang makan ngutang dulu dan bayar setelah gajian. Modalnya adalah kepercayaan. Hal ini sudah biasa, menurut pemilik warteg.

Isu soal perburuhan mengenai upah khususnya, buruh sering membahasnya di warteg. Artinya baik disadari atau tidak, warteg telah ikut andil dalam proses perjuangan buruh. Ibarat pepatah; sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Efisien dan tidak perlu sewa gedung. ***
 



2 komentar:

Jacko Denim mengatakan...

Apakah hal itu wajar adanya ?
ataukah tak sepantasnya mereka bernasib seperti itu?

Unknown mengatakan...

@Jack...........

Kalau dikatan wajar, tentu masih jauh dari kewajaran. Standar Upah Layak Minimum mestinya tidak membuat buruh kedodoran dalam belanja kebutuhan hidup. Makanya buruh harus pinter ber'akrobat'......agar bertahan hidup.