Sabtu, 04 Agustus 2012

Cerber : HITAM PUTIH SUMIRAH (3)

Tutur Sumirah
Oleh : Abu Gybran

"Aku, Sumirah. Aku lahir disebuah desa kecil yang jauh dari keramaian, yaitu sebuah desa yang terletak disalah satu kaki Gunung Halimun bagian selatan. Awalnya aku merantau ke Tangerang bekerja sebagai pembantu rumahtangga atau yang lebih populer dengan sebutan babu. Maklum saja aku kan cuma tamatan SMP. Aku bekerja disebuah rumah milik tuan Kiem Lian dari keturunan etnis Tionghoa dari Teluk Naga. Aku biasa menyebutnya dengan kata tuan. Istrinya, sudah lama lumpuh dikedua kakinya. Aku tidak tahu namanya, aku hanya memanggilnya dengan kata nyonya," tutur Sumirah mengawali cerita hidupnya. 

Pengakuannya, hampir setiap hari dia selalu berdua dengan sang nyonya karena keluarga ini tidak mempunyai seorang anakpun. Sementara tuan Kiem Lian selalu berangkat pagi dan pulang sekitar jam 10 malam. Tuan bekerja di toko miliknya di Pasar Anyar, Tangerang. 

Dia sangat betah bekerja dikeluarga ini, terlebih tuan dan nyonya sangat baik kepadanya. Dia sering mendapatkan hadiah atau ampao ketika Hari Raya Imlek. Bahkan dia merasakan seperti tidak perlakukan sebagai babu, tapi seakan sebagai bagian dari keluarga. Entahlah, apakah karena mereka tidak mempunyai keturunan? Pertanyaan seperti ini yang sering mengganggu pikirannya. Tapi dia tidak mau memikirkan hal ini terus, dia tidak mau terjebak apalagi berprasangka buruk. Terlebih kepada tuannya yang tanpa sepengetahuan nyonya sering memberikan uang lebih diluar gaji bulanannya.

"Tuan, ini untuk aku?" tanya Sumirah suatu hari ketika menerima uang dari tuannya, bukan uang gajinya. Dia kerapkali bertanya demikian karena takut uang yang diberikan tuannya itu bukan untuk dirinya tapi uang untuk belanja harian. Jumlahnya cukup besar menurut ukurannya, kadang melebihi gaji bulanannya.

"Ya, untuk kamu, Mirah. Hasil dari keuntungan toko bulan ini cukup lumayan," jelas tuan Kiem Lian. Tuannya memberikan uang itu ketika Sumirah berada di dapur saat menyiapkan makan malam. Sementara si nyonya berada ditengah, diruangan keluarga diatas kursi rodanya sedang nonton televisi. Sumirah melihat ada senyum kecil di bibir tuannya. Dia sempat menatapnya sesaat. Ada perasaan ganjil menyelinap dalam benak hatinya. Sebab bukan sekali atau dua kali tuannya memberikan uang diluar gajinya, tapi sering. Dan dia kerap menyaksikan senyum genit tuannya itu saat memberikan uang padanya.

"Sudah kamu simpan saja uang itu, tapi tolong jangan kamu ceritakan ke nyonya, ya," lanjut tuannya sambil meninggalkan Sumirah di dapur. Sepeninggal tuannya, dia langsung bergegas masuk ke kamarnya untuk menyimpan uang pemberian tuannya itu. Kamar Sumirah terletak dibelakang bersebelahan dengan dapur.

Jam dinding menunjukkan pukul 23:00. Pekerjaan Sumirah baru saja selesai. Waktunya istirahat tidur untuk melepas lelah. Tuan dan nyonya sudah masuk kamar terlebih dahulu. Mereka sudah tertidur. Malam itu hujan cukup deras dan udara menghembus dingin lewat celah-celah lubang angin. Sumirah merasakan seperti mati kehidupan malam itu. Sepi, hanya sesekali terdengar lolongan anjing milik tuannya yang kandanganya terletak disamping rumah dibawah pohon jambu.

Matanya sulit sekali dipejamkan malam itu. Sumirah sulit tidur dimalam hujan itu. Dia masih kepikiran soal uang pemberian tuannya. Menurutnya ada ketidakwajaran. Tapi dia selalu berharap semoga saja tuannya tidak mempunyai maksud lain. Sebab katanya, dia sering mendengar cerita tentang kebaikan majikan terhadap pembantunya sering berujung pada persoalan yang menyakitkan. Terlebih dirinya saat itu baru menginjak usia 19 tahun. Ada rasa takut yang dia tidak bisa pungkiri. "Aku harus bisa menjaga diri," hatinya membatin.

Sampai tengah malam pikirannya menerawang kemana-mana. Dia teringat kedua orangtuanya di kampung. Tidak ada siapa-siapa lagi di rumah itu kecuali kedua orangtuanya. Sumirah memang anak tunggal. Sumirah terpaksa meninggalkan mereka dan menitipkan pada pamannya yang rumahnya bersebelahan dengan rumah kedua orangtuanya.

Dalam penuturannya malam itu dihadapan Ibas, Sumirah terdiam sesaat. Ibas menangkap, betapa Sumirah ingin membahagiakan kedua orangtuanya. Orang yang sangat dia cintai. Sumirah berusaha melepaskan belitan kemiskinan yang senantiasa mengakrabi keluarganya. Makanya dia berusaha mengirimkan sebagian hasil kerjanya tiap bulan untuk kedua orangtuanya. Sumirah berusaha membuat kedua orangtuanya tersenyum.

"Rasanya sangat berat, kang." Sumirah melanjutkan penuturannya. "Ada kepedihan di hatiku saat melihat mereka menangis ketika aku melangkah meninggalkan mereka, terutama ibuku," lanjutnya hampir tak terdengar.  Pikirannya menerawang saat kali pertama dia meninggalkan kampung halamannya.

Malam kian larut, seperti yang diceritakan Sumirah. Seperti malam-malam sebelumnya, tiap kali dia menerima uang diluar gajinya yang diberikan tuannya, matanya selalu sulit untuk diajak tidur. Dia sudah lelah, bahkan teramat lelah. Ada kegelisahan yang menyelimutinya. Namun menjelang shubuh, saat hujan mulai mereda, dia terlelap. Pada tidurnya yang sesaat, dia sempat melihat senyum kedua orangtuanya berkelebat dalam mimpi pendeknya. *** (Bersambung)                 

Tidak ada komentar: