Selasa, 14 Mei 2013

Perjanjian Setan

Oleh : Abu Gybran

Manusia Adalah Mahluk Sosial
Sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri. Dalam keberagaman hidup, atas kehendak Tuhan status sosial manusia pun berbeda pula. Untuk sebuah tatanan kehidupan yang harmonis seiring dan seirama, maka lahirlah ide untuk membuat peraturan atau perundang-undangan.
 
Disamping peraturan yang sudah berlaku, adakalanya manusia membuat perjanjian untuk hal lain. Adalah sebuah perjanjian dibuat manakala dalam proses kehidupan menemui benturan-benturan yang tidak diinginkan bersama. Sementara peraturan yang ada dirasa tidak mampu mengakomodir bentuk-bentuk keinginan yang dirasa mendesak pula. Untuk menghindari benturan-benturan itulah, maka dibuatlah suatu perjanjian yang kemudian disepakati bersama. Lantas kenapa harus membuat perjanjian baru? Alasan yang sering dijumpai adalah karena salah satu pihak atau kedua pihak merasa tidak diuntungkan oleh peraturan yang sudah diundangkan. Artinya perjanjian yang disepakati bersama adalah disepakat untuk keluar dari peraturan atau perundangan yang berlaku.

Sebagai buruh pabrik, saya seringkali memperhatikan perjanjian-perjanjian antara pengusaha dan buruh khususnya dalam hal pengupahan. Dari segi kekuatan ekonomi, tentu pengusaha jauh lebih kuat daripada buruh. Sehingga yang berperan atau pengendali perjanjian pun selalu pengusaha yang berada pada posisi utama. Buruh dalam hal ini seringkali terjebak oleh kebutuhan dasar; 'yang penting bisa kerja'. Oleh karenanya buruh seringkali berada pada posisi kedua dalam perjanjian yang dibuat. Bahkan isi perjanjian pun selalu menempatkan buruh pada pihak yang 'menerima'.

Dipaksa Dan Terpaksa
Ketidak-mampuan seringkali dijadikan alasan untuk membuat perjanjian oleh pengusaha dengan buruhnya dalam hal pembayaran upah. Saya melihatnya bukan karena ketidak-mampuan, tapi lebih kepada tidak menguntungkan atau hanya untung sedikit. Sebab kata ketidak-mampuan pengusaha selalu saja tidak diiringi dengan bukti-bukti pendukung yang dibenarkan oleh perundangan. Ketidak-mampuan pengusaha bisa dibenarkan jika didukung oleh hasil audit keuangan perusahaan yang disahkan oleh auditor yang ditunjuk oleh pemerintah. Dan ini yang seringkali diabaikan oleh pengusaha. (Baca; Permen. Tenagakerja, Per-01/MEN/1999, pasal 21 ayat 1 dan 2)

Banyak opini yang beredar mengenai sah atau tidaknya perjanjian atau kesepakatan seperti tersebut diatas. Dan saya, cukup terkejut ketika mendengar suatu pendapat yang mengatakan bahwa dalam pelaksanaan peraturan atau perundangan yang berlaku boleh diabaikan dan sah dimata hukum jika ada perjanjian yang disepakati bersama? Apa benar demikian? Atau ini hanya sebuah pembenaran yang dipaksakan agar terlihat legalitasnya?

Bahkan ada yang lebih edan, seorang teman menager disalahsatu perusahaan mengatakan: "Selama buruh  menandatangani perjanjian itu artinya mereka sepakat dengan isi perjanjian, sudah selesai, gak usah dibuat sulit" Nampak jelas arogansinya karena berada pada posisi pengendali perjanjian.

Dalam hal ini nampak jelas bahwa buruh dipaksa dan terpaksa menyepakati isi perjanjian karena terdesak oleh kebutuhan dasar dalam mempertahankan kelangsungan hidup. Sehingga bukan atas dasar kerelaan mereka, buruh menandatangani isi perjanjian melainkan karena terpaksa. Dan pengusaha selalu mencari pembenaran dengan mengatas-namakan 'kesepakatan'. Saya menyebutnya perjanjian semacam ini merupakan 'perjanjian setan'. Perjanjian yang samasekali tidak mencerminkan rasa keadilan.

Perjanjian Setan
Saya menyebutnya demikian karena perjanjian yang terpaksa disepakati oleh pihak lemah tidak mencerminkan rasa kemanusiaan yang berkeadilan. Perjanjian akal-akalan pengusaha hanya untuk meraup keuntungan mengorbankan keringat buruh. Perjanjian setan merupakan perjanjian yang melabrak norma-norma kehidupan, aturan, perundangan dan hukum yang berlaku.

"Dalam hal kesepakatan jika isinya lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum". (UU. Ketenagakerjaan No.13 / 2003, pasal 91 ayat 2)

Hujah semacam tersebut diatas, tidak berlaku di mata pengusaha yang hanya mengedepankan keuntungan semata dengan tidak mengindahkan peraturan yang berlaku.

Sisi Lain
Dalam pandangan agama manapun menyebutkan bahwa setan akan senantiasa berusaha untuk menjerumuskan manusia kejalan yang salah. Dan atas kesombongannya setan tidak pernah merasa salah walaupun nyata-nyata salahnya. Lagi pula mana ada setan berbuat benar.....hehehehe...

Bahkan ketika iblis atau setan diusir oleh Tuhan dari surga karena tidak mau mengikuti perintah Tuhan untuk menghormati Adam as, setan membuat suatu perjanjian dengan Tuhan. Dalam isi perjanjian itu pertama setan minta kepada Tuhan umur yang panjang. Kedua dengan umurnya yang panjang itu dia akan terus berusaha untuk menjerumuskan manusia. Tuhan mengabulkan permintaannya dan Tuhan mengatakan bahwa orang-orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya serta selalu berusaha berbuat perubahan dan peningkatan dalam kebaikkan tidak akan terbujuk oleh rayuan setan.

Lantas apa korelasinya secuil kisah Adam as dan setan dari pandangan Kitab Suci dengan perjanjian atau kesepakatan pengusaha dan buruh?

Maaf, saya sedang tidak membandingkan bahwa pengusaha adalah setan. Karena banyak pengusaha yang berjiwa malaikat. Pengusaha yang menindas buruhnya dengan membayar upah dibawah standar pun, saya tidak akan menyebut atau menyamakan mereka dengan setan, tapi saya lebih suka dan terpaksa menyebut mereka adalah pengusaha yang kesetanan.

Untuk buruh, jika tidak ingin disentuh oleh setan maka buatlah perubahan kearah yang lebih baik. Percayalah bahwa Tuhan tidak akan membiarkan orang-orang yang berbuat kebaikan hidup sengsara. Buruh harus berani mengatakan tidak pada segala bentuk ketidak-adilan dengan mengedepankan argumen-argumen yang jelas yang berlandaskan pada kebenaran. ***   
 

Tidak ada komentar: