Rabu, 28 Januari 2015

Cerpen: Aku Bukan Janda

Oleh: Abu Gybran

Panggil saja aku Wati. Aku mempunyai seorang anak laki-laki yang usianya baru lima tahun, Doni namanya. Saat aku kerja, Doni aku titipkan pada tetanggaku yang tempat tinggalnya bersebelahan denganku. Rumah petak kontrakan yang aku sebut istana impian. Aku tinggal berdua dengan anakku itu. Sementara ayahnya Doni.......Ach, tidak. Aku tidak mau menyebut namanya. Aku sudah mengubur namanya dalam-dalam. Bahkan mengingatnya pun aku sudah tak mau. Jangan terkejut, bahwa aku tak pernah bersuami tapi akupun tak sudi disebut janda lantaran aku sudah punya anak. Aku bukan janda sebab aku belum pernah menikah dengan siapapun, termasuk orang yang menjadi ayahnya Doni.

Saat aku memutuskan pergi dari rumah orangtuaku, sebuah desa terpencil di kaki Gunung Rajabasa, aku merantau ke daerah Banten di mana aku tinggal saat sekarang ini. Saat itu sudah hamil dua bulan. Tentang kehamilanku, tentu saja kedua orangtuaku tidak tahu. Mereka hanya tahu aku merantau untuk mencari pekerjaan. Aku sengaja tidak pernah menceritakan tentang masalah yang aku hadapi. Tentang hubungan cintaku dengan seorang pria yang aku cintai di mana orangtuaku juga sudah mengenalnya. Ya, aku mencintainya, hingga semua yang aku miliki kuberikan padanya. 

Sebenarnya aku tak mau menceritakan soal ini, saat di mana aku dikhianati. Aku ditinggalkan..........

Dengan berjalannya waktu, aku diterima kerja di sebuah pabrik sepatu. Aku bekerja dalam keadaan hamil yang terus membesar. Aku mengajukan cuti hamil ke perusahaan saat kehamilanku sudah menginjak delapan bulan. Hingga persalinan, sendiri di rumah petak kontrakan. Beruntungnya, tetanggaku ada yang peduli dan menolong memanggilkan bidan. Lahirlah anakku yang kuberi nama Doni. 

Tetanggaku tidak ada yang menanyakan soal suamiku. Mereka tahunya bahwa aku adalah janda yang ditinggal mati suaminya. Seperti pengakuan bohongku saat kali pertama aku tinggal dirumah petak kontrakan yang aku sebut istana impian itu. Ya, istana impian di mana aku berusaha hidup mandiri untuk membesarkan anakku. Jangan tanya soal penderitaan, sebab itu sudah menjadi bagian dari hidupku. Hidup dalam lingkaran kebohongan untuk menutupi aibku. Aku tidak tahu bagaimana menyembunyikan anakku pada orangtuaku jika pada saatnya aku pulang kampung. Duh, aku tidak mungkin meninggalkan anakku. Pernah terlintas untuk menitipkannya di sebuah panti asuhan, tapi naluri keibuanku selalu mengatakannya, tidak. Sebab biar bagaimanapun dia adalah buah dari cintaku. Walau dari sebuah kesalahan yang aku salah dalam memaknai cinta yang sebenarnya. Anakku lahir dari hasil cinta yang terlarang.

***

Dengan pakaian hijab yang aku kenakan saat ini. Aku nampak alim dan anggun, kata sejumlah teman-teman kerja. Tentu saja di antara mereka yang terbanyak adalah laki-laki yang berusaha pedekate terhadapku. Hemmm......andai saja mereka tahu siapa aku yang sebenarnya, mungkin mereka akan menjauh. Aku mengenakan pakaian hijab bukan untuk menutupi betapa hitamnya hidupku. Jujur saja, aku bertobat. Aku ingin mendekatkan diriku pada keagungan Tuhan. Sebisa mungkin aku berusaha melaksanakan segala perintah-Nya. Aku ingin membersihkan lumuran dosa. Seperti hujan yang membersihkan debu-debu yang menempel pada daun kamboja. Terserah apa kata orang, yang jelas aku ingin seperti bunga yang berseri di pagi hari. Menyejukan bagi siapa saja yang melihatnya.

"Cantik, sungguh kamu teramat cantik dengan pakaian hijab itu," kata Ramlan di kantin pabrik saat istirahat makan siang. Aku menanggapinya hanya dengan senyum. Aku sudah hafal dengan rayuan gombal laki-laki. Aku tak mau terjerumus untuk yang kedua kalinya. Aku bukan Wati yang dulu. Banyak hikmah yang bisa aku petik dari perjalanan hidup masa lalu. Masa lalu yang membuatku menjadi dewasa. 

"Ach, biasa saja, mas." Kataku tanpa menoleh padanya yang duduk persis dihadapanku. Sebenarnya aku ingin sekali terlihat judes agar dia berhenti ngegombal. Tapi aku tak bisa. Aku terpaksa sedikit menyungging senyum. Hitung-hitung ibadah, pikirku. Ya, senyum untuk membuat orang senang adalah ibadah, kata guru ngajiku. 

Bukan hanya Ramlan yang sering menggodaku, tapi banyak pula yang lainnya. Tapi tak satupun yang aku tanggapi serius. Aku seperti sudah tak punya cinta. Aku seperti mati rasa untuk persoalan cinta. Entahlah yang jelas aku takut masa lalu itu terulang lagi. Aku hampir tak mempercayai siapapun dalam urusan cinta ini. aku ingin menikmati kesendirianku, toh masih ada Doni anakku yang bisa mengusir rasa sepi itu. 

Doni sudah pandai berkata-kata. Kadang ada kekhawatiran ketika dia bertanya soal ayahnya. Anak seumuran dia memang selalu banyak tanya. Untungnya, dia tak pernah bertanya soal siapa ayahnya. Walau barangkali dia telah merasakan keganjilan itu. Doni selalu bermain dengan temannya, anak tetangga yang tentu selalu bermain bersama ayahnya. Sementara Doni tak pernah merasakan itu. Dia tidak tahu sebenarnya dia pun punya ayah. Sosok ayah yang tak pernah dilihatnya.

Kadang tak terasa air mataku meleleh saat membayangkan Doni bertanya soal ayahnya. Bagaimana aku harus menjawabnya? Duh, Gusti. Aku tak mau anakku menjadi tumbal dari kesalahan yang telah aku lakukan. Biarlah aku saja yang merasakan kepedihan hidup ini. Tapi tidak dengan anakku. Kiranya sudah ribuan kali aku membatin dan memohon pada Tuhan agar diberikan jalan keluar dari segala penderitaan yang aku tutupi dengan kebohonganku. Rasanya ingin sekali aku berteriak agar semua orang tahu bahwa aku adalah perempuan yang telah mempunyai anak tanpa suami. Aku pun ingin menyampaikan pada mereka seterang-terangnya bahwa aku bukan janda sebab aku tak pernah menikah. Namun aku tak sanggup untuk berterus terang pada orang-orang di sekelilingku, termasuk pada orangtuaku. Aku ingin terus menyimpannya, entahlah sampai kapan. Biarlah hanya aku dan Tuhanku yang tahu.

***

Seperti biasa, setiap jam pulang kerja, aku selalu bergegas untuk segera sampai di rumah. Aku tidak mau Doni menungguku terlalu lama dan aku pun tak mau terlalu merepotkan tetanggaku yang ikut menjaga Doni. Untungnya anakku tidak rewel. Barangkali dia sudah dapat memahami keadaan ibunya. Duh, Gusti. Anak sekecil Doni harus ikut terseret-seret dan merasakan kepedihan akibat dari kesalahan masa laluku. Jujur saja, anakku lebih pendiam ketimbang dengan anak-anak yang tumbuh dalam keluarga normal.

 Sesampainya di depan gang jalan masuk menuju rumah kontrakan, aku terkejut melihat Doni sedang duduk dan ketawa-tawa bercanda di depan warungnya Pak Jaka dengan seorang laki-laki yang belum aku kenal. Aku langsung menggendong anakku. Tumben, Doni sedikit agak meronta ketika aku gendong. Rupanya dia meminta untuk duduk lagi.

"Bu, aku mau main lagi sama Om itu," rengek Doni sambil menunjuk laki-laki yang masih duduk di hadapanku
"Hus, sudah sore, sayang. Nanti besok main lagi ya," kataku sambil langsung pamit pada Pak Jaka dan juga pada laki-laki muda yang belum aku kenal itu. Sepintas aku melihat ada senyum tipis di sudut bibirnya. Aku merasakan bahwa dia sedang menatapku ketika aku beranjak meninggalkan warung.

Siapa dia laki-laki muda yang selalu mengajak anakku jajan di warungnya Pak Jaka setiap sore sambil menunggu aku pulang? Jelang satu minggu aku baru tahu namanya, Heryawan, itupun dari Pak Jaka siempunya warung yang juga pemilik rumah kontrakan. Sebenarnya aku tak mau tahu soal siapa dia, tapi aku tak bisa cuwek begitu saja padanya. Terlebih beberapa hari terakhir aku melihat keakraban anakku dengannya. Tidak ada salahnya jika aku mengucapkan terima kasih karena dia telah ikut dan mau menjaga anakku tanpa aku pinta. Karena dia ada niat lain atau tidak, itu bukan urusanku. Sebab kata guru ngajiku; kita tidak boleh berburuk sangka.

"Namaku Heryawan, panggil saja Wawan," katanya memperkenalkan diri di waktu sore yang lain. Ups, jangan salah. Dalam perkenalan itu dia tidak menjabat tanganku. Sebabnya mungkin karena aku berpakaian hijab. Aku tahu perkenalannya itu hanya basa-basi. Biasalah itu, aku sudah hafal di luar kepala kebiasaan seperti itu tak jauh beda dengan kebiasaan laki-laki lain di tempat kerja yang berusaha mendekatiku.

Heryawan memang baru satu minggu tinggal di rumah petak kontrakan yang berderet. Dia menempati rumah  paling ujung. Aku tidak tahu dia kerja atau tidak. Sebab setahuku semua penghuni rumah kontrakan rata-rata adalah pekerja. Dan sebagian besar adalah pekerja atau buruh pabrik. Yang aku tahu soal dia adalah setiap aku pulang kerja sore, dia sudah berada di rumahnya. Pak Jaka juga belum pernah cerita, padahal biasanya dia selalu tahu tentang siapa penyewa rumah kontrakannya.

"Terima kasih, ya, telah ikut menjaga Doni. Maaf kalau Doni suka merepotkan," kataku.
"Ya," jawabnya singkat.

Waw....! Aku terkejut mendengar jawaban singkatnya itu. Kali ini aku keliru menilainya. Sebab biasanya laki-laki itu kalau sudah diberi lampu hijau langsung kege-eran. Tapi tidak dengan Heryawan. Dia malah banyak diamnya ketimbang bicara. Apa karena ia merasa usianya lebih muda dariku sehingga merasa segan walau hanya sekadar bincang-bincang biasa. Atau ini hanya trategi saja untuk menarik rasa simpatiku? Sebab yang aku tahu laki-laki itu banyak akalnya kalau soal urusan perempuan. Terlebih yang dia sudah tahu dari tetangga bahwa aku hanyalah seorang janda dengan anak satu. Walau sejatinya, sekali lagi; aku bukan janda. Jangan tanya sampai kapan aku akan membantah soal statusku ini. Sampai nanti, sampai pada batasnya aku sanggup dan mempunyai kekuatan untuk menjelaskannya pada semuanya.

***
Seiring berjalannya waktu. Kedekatanku dengan Heryawan tak terbantahkan lagi. Sebenarnya aku sudah berusaha untuk menghindarinya. Tapi apalah dayaku ketika aku melihat keseriusannya untuk menikahiku. Dan itu diucapkannya tidak hanya sekali tapi berkali-kali. Jujur saja aku tersiksa menghadapi masalah ini semua. Seperti dihimpit dua batu besar, aku benar-benar tersiksa. Aku berhadapan dengan keraguan yang selalu menjegal. Ya, aku masih ragu dan tidak yakin dia bisa menerimaku apa adanya. Terlebih jika dia tahu statusku yang tidak jelas.

Aku memohon pertolongan Tuhan berkali-kali agar dibebaskan persoalan yang menyiksa batin ini. Aku tidak dan belum mempunyai keberanian untuk berterus terang pada Heryawan. Pikirku saat itu, syukur kalau dia bisa menerimaku apa adanya tapi jika tidak......? Bukan hanya dia tapi pasti orang lain juga akan tahu siapa aku yang sebenarnya. Sebab aku tak bisa menjamin dia bisa tutup mulut tentang siapa aku. Aku tak sanggup membayangkan status baru yang bakal disematkan padaku; janda bukan perawan juga bukan.

Aku pasrah. Aku kembalikan dan memohon pertolongan Tuhan. Dalam keheningan malam, di saat Doni terlelap tidur, dalam shalat tahajud aku berusaha berdialog dengan Tuhan agar dimudahkan dalam menghadapi masalah ini. Aku memohon keberanian untuk mengatakan semuanya pada Heryawan. Besok pagi, semoga aku dapat melihat lengkung senyum pagi dari orang yang kukagumi.***

            

Tidak ada komentar: