Kamis, 07 Juli 2011

Menyoal THR Bagi Buruh Kontrak

Oleh: Abu Gybran

Selalu saja tiap tahunnya buruh dihadapkan pada persoalan yang sebenarnya bersifat normatif. Dan yang sering muncul kepermukaan bukan hanya persoalan kenaikan upah, tapi juga Tunjangan Hari Raya (THR).

Biasanya menjelang dua bulan Hari Raya Lebaran (Idhul fitri), buruh sudah mulai bertanya-tanya; "Lebaran ini kita dapat THR nggak, ya? Berapa persen ya, kenaikannya? Apa sama dengan tahun kemarin? Penuh apa dicicil ya, pembayarannya? Atau jangan-jangan kita di PHK menjelang satu bulan sebelum Lebaran? "..................

Saya tidak mampu menampung seluruh pertanyaan  yang juga merupakan bentuk dari rasa kekhawatiran mereka terhadap pembayaran THR yang diberikan oleh perusahaan. Dan saya mendengar obrolan mereka saat makan siang di Warteg. Memang sangat beragam persoalan buruh hingga kini, namun yang membuat saya merasa miris adalah; kenapa persoalan normatif, yang jelas-jelas itu adalah hak buruh yang harus diberikan oleh perusahaan, masih juga menjadi persoalan? Padahal Keputusan Menteri/04/1994 sudah mengaturnya sedemikian rupa.

Karut-marutnya pembayaran THR hingga kini tergambar jelas dari pertanyaan-pertanyaan buruh diatas.

Kalau saya telisik satu persatu, ternyata kekhawatiran buruh lebih banyak dialami oleh buruh kontrak ketimbang buruh tetap. Ketidak-berdayaan mereka: "Atau jangan-jangan kita di PHK menjelang satu bulan sebelum Lebaran". Tentu saja pertanyaan ini tidak akan muncul kalau sebelumnya tidak pernah terjadi. Sistem kerja kontrak telah menempatkan buruh pada posisi yang sangat lemah ketika menghadapi arogansi pengusaha. Sebab sangat mudah membuat kontrak kerja yang PKWT-nya berakhir menjelang satu bulan sebelum Lebaran. Artinya perusahaan tidak perlu lagi mengeluarkan biaya THR bagi buruhnya.

Jelas sekali, dalam penandatanganan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) buruh bukannya tidak tahu tapi tahu, hanya saja tidak bisa berbuat apa-apa. Ya, buruh sepertinya pasrah karena pada sisi yang lain mereka itu butuh kerja untuk menghidupi kebutuhannya. Dan hal ini tidak bisa dipungkiri......!!!???

Walau pada saatnya menimbulkan reaksi yang sangat keras dari buruh, seperti kata pribahasa; "anjing menggong kafilah berlalu", pihak majikan tenang saja. Sebab kendali ada ditangan majikan yakni PKWT yang sudah ditanda tangani kedua belah pihak.

Tentu saja buruh kontrak ataupun buruh tetap yang  karena di PHK atau masa kerjanya habis satu bulan menjelang sebelum Lebaran, menurut Kepmen/04/1994 tidak berhak atas THR, kecuali ada kebijakan lain yang mengatur semisal KKB (Kesepakatan Kerja Bersama). Kalau pertanyaannya; apakah buruh kontrak mendapatkan THR? Ya, jelas dapat, karena Kepmen/04/1994 tidak mensyaratkan/membedakan status kerja kontrak atau tetap. Akan tetapi besaran THR yang diperoleh buruh diatur berdasar pada masa kerja. Bagi buruh yang masa kerjanya lebih dari 12 bulan, maka besaran THR minimal  adalah 1 (satu) bulan upah. 

Fakta dilapangan, saya sering menjumpai buruh kontrak dibeberapa perusahaan, khususnya pada Kawasan Industri Balaraja, Tangerang-Banten, di PHK satu bulan sebelum menjelang Lebaran. Biasanya pengusaha beralasan karena berkurangnya order. Saya kira ini adalah alasan klasik yang bisa ditelusuri benar atau tidaknya oleh buruh atau Serikat Buruh.  Jalan yang terbaik, tentu saja melalui perundingan. Hanya saja persoalannya akan bertambah runyam jika yang menghadapi persoalan ini adalah buruh kontrak. Sebab sepengetahuan saya buruh kontrak nyaris tidak pernah terdaftar sebagai anggota Serikat Buruh karena masa kerjanya yang terus berubah-rubah dan tidak pernah lama. Buruh kontrak seakan dibiarkan bertarung sendirian..........nah, siapa peduli? 

Kalau sudah begini, lantas pertanyaannya mengarah pada peran Pengawas Ketenaga-kerjaan dari Disnaker. Apakah mereka tidak tahu minimal mendengar persoalan ini karena tiap tahunnya selalu muncul kepermukaan?.........Saya berani bertaruh, kalau hal ini ditanyakan kepada mereka, maka jawabannya adalah: "Kami tidak tahu, sebab kami tidak menerima laporan".

Kalau terus didesak, apakah petugas pengawas tidak pernah turun kelapangan? Maka mudah ditebak jawabannya: "Jumlah personil kami tidak sebanding dengan jumlah sekian ribu pabrik yang harus diawasi".

Dan saya,.........hanya bisa tertawa; hahahahahaha.........inilah potret perburuhan negeri ini. Ibarat air laut dengan air sungai yang bertemu:  Pemerintah dan pengusaha itu sebenarnya sudah lama temenan. Dan kepentingannya pun tidak jauh berbeda. Celakanya buruh terjebak dalam dua pusaran kekuatan itu. Sampai kapan?........***

Tidak ada komentar: