Sabtu, 09 Juli 2011

Muhammad SAW Berpolitik?

MUHAMMAD SAW 
BUKAN FIGUR POLITIK
Oleh: Abu Gybran

 Tulisan ini saya nukil dari buku "Khilafah 'Ala Minhajin Nubuwwah", Wali Al Fattaah. Harapan saya setidaknya tulisan ini mampu memberikan bahan koreksi terhadap apa saja yang sering diarahkan kepada Nabi Muhammad saw, terkait dengan segala intrik kekuasaan atau politik. 

Seperti lazim yang sering kita dengar dan ketahui, bahwa Rosulullah saw sering disebut sebagai kepala negara. Padahal predikat kepala negara itu secara umum bisa Presiden atau Raja. Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw:
 
"Janganlah engkau takut, tenanglah, sesungguhnya aku ini bukanlah seorang raja. Sesungguhnya aku seorang putera dari ibu Quraesy  yang biasa makan dendeng".  (HR. Bukhory dari Anas bin Malik, syarhu syifa, Al Madany Al Mu'assasah As Su'uudiyah, Mesir, juz 2 hal. 152)

Berpijak Pada Wahyu
Dalam setiap ucapan dan perbuatannya, Rosulullah saw selalu mengikuti apa-apa yang diwahyu Allah kepadanya.

"Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsu. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)". (QS. An-Najm: 3-4)

Oleh karenanya setiap ucapan beliau selalu dibimbing wahyu dan sebaliknya tidak mengatakan atau berbuat diluar bimbingan wahyu. Buktinya, adalah kelaziman Rosulullah saw jika menghadapi berbagai masalah yang tak terpecahkan, beliau selalu berdiam diri sambil menunggu turunnya wahyu Allah. Beliau tidak lantas menjawab atau melakukan sesuatu dengan rasio.
Seandainya Rosulullah saw tokoh politik, seperti banyak diyakini orang, tentu saja beliau tidak perlu menunggu turunnya wahyu  Allah. Langsung saja menjawab dengan kemampuan rasio belaka, sebagaimana lazimnya politikus dalam menghadapi atau menjawab suatu masalah.

Berdasarkan firman Allah dan penegasan Rosulullah saw sendiri dalam haditsnya diatas; Bagaimana logikanya Rosulullah saw diberi predikat sebagai negarawan atau seorang politikus? Seandainya beliau sebagai seorang negarawan, paling tidak beliau harus menjadi kepala negara, sorang raja atau presiden dalam kekinian. Padahal saat itu tidak ada kepala negara selain raja atau kaisar dengan imperiumnya, seperti imperium Parsi dan Romawi.

Jadi, jelaslah bahwa secara aqli ataupun naqli (dien), tidak dijumpai pembuktian bahwa Rosulullah saw adalah seorang figur politik, negarawan, atau kepala negara. Pemahaman seperti ini nampaknya sengaja dipaksakan ditengah-tengah masyarakat muslim oleh orang-orang yang membenci islam. Mereka mengatakan bahwa dalam islam terdapat unsur-unsur politik.

Tentu saja pemahaman diatas tidak diambil dari Rosulullah saw yang senantiasa dibimbing olah Allah dan tidak pula dari Khulafaur Rosyidin Al Mahdiyin, melainkan dari Mu'awiyah (Bani Umayah), Abasiyah  dan Utsmaniyah. Tiga masa yang sarat dengan muatan politik. Rosulullah saw pun memberikan predikat ketiganya dengan Mulkan (kerajaan), Mulkan Adhon dan Mulkan Jabariyah, yang raja-rajanya memakai gelar Kholifah.

Peringatan Rosulullah saw
Pemahaman bahwa Rosulullah saw adalah seorang negarawan atau politikus, sangatlah membahayakan. Kalau tidak hati-hati kita akan berhadapan dengan hadits yang beliau sabdakan:

"Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah ia mencari tempat  duduknya didalam neraka". (HR. Ahmad, Bukhory dan Muslim dari Abu Huroiroh. Musnad Ahmad juz 4 hal. 172) 

Islam mampu menjawab serta melintasi peradaban hingga kini, bukan karena politik kekuasaan yang selalu menghalalkan segala cara, tapi berdasar kepada Al Qur'an dan As Sunnah Rosulullah saw. Saya sangat bersyukur dan mendukung akhir-akhir ini ada niatan dari kaum muslimin untuk kembali menegakkan Khilafah yang telah padam. Tapi saya pun merasa miris karena dalam upaya tersebut harus menyeret-nyeret politik. Seakan berkeyakinan bahwa Khilafah tidak akan bisa tegak tanpa menggandeng politik. Padahal kalau kita perhatikan fiman Allah serta hadits Rosulullah saw diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa: ISLAM ITU NON POLITIK. ***

 
 
 


 

Tidak ada komentar: