Kamis, 20 Februari 2014

Mahalnya Biaya Politik

Oleh: Abu Gybran

'Bergidik' penulis mendengar mahalnya biaya politik di negeri ini. Betapa tidak, untuk menjadi anggota DPRD saja butuh dana 2 Milyar. Dana sebesar itu dipergunakan untuk biaya kampanye dan sosialisasi ke wilayah dapil untuk menggalang suara. Kalau caleg sekadar modal nekad, rasanya sulit untuk bersaing dengan caleg yang punya modal besar. Suka atau tidak suka, caleg modal nekad harus melewati kondisi ini. Sistem boleh jadi tidak mensyaratkan modal besar untuk pertarungan memperebutkan kursi di DPR, tapi fakta dilapangan tentu akan berbicara lain.

Setidaknya ada dua hal menurut penelusuran penulis yang membuat biaya politik menjadi mahal. Pertama, kesadaran politik masyarakat yang belum merata. Kedua, kurang 'pede' nya para caleg untuk menjual kemampuan dirinya pada masyarakat pemilih. 

Belum Meratanya Kesadaran Politik
Masyarakat umum menganggap bahwa pemilu hanya sekadar pesta demokrasi untuk memilih anggota DPR atau Presiden. Artinya cara berpikir mereka adalah tidak ikut memilihpun tidak berdampak apa-apa pada dirinya. Bahkan memilihpun mereka tidak dapat merasakan apa-apa dari orang-orang yang dipilihnya. Boleh disimpulkan bahwa pelaksanaan pemilu dan setelahnya pun; setelah para caleg dipilih dan mendapatkan kursi, masyarakat merasakan tidak mendapatkan apa-apa kecuali janji-janji yang sudah lewat. 

Lumrah saja, jika masyarakat awam berpikir seperti diatas, karena memang kesadaran politiknya boleh dibilang masih rendah atau belum merata. Sehingga memandang bahwa pemilu bukan merupakan kebutuhan yang harus dilakukannya. Padahal hasil pemilu menentukan baik buruknya kehidupan bernegara untuk 5 tahun kedepan. Masyarakat awan berpikir pemilu berarti mendapatkan uang dari hasil menjual suara. Kondisi ini tentu tidak jadi masalah bagi caleg yang punya modal besar.

Walau politik uang diharamkan, tapi faktanya tentu tidak di lapangan. Adanya istilah serangan fajar, karena memang adanya praktek politik uang. Ada juga anggapan yang keliru tapi seringkali dibenarkan bahkan dianggap benar yaitu: "Ambil uangnya tapi jangan pilih orangnya." Secara tidak langsung kita memberikan pelajaran pertama pada para caleg yang memberi uang untuk melakukan tindak korupsi kedepannya. Karena biar bagaimanapun caleg yang terpilih akan berpikir; modal yang dikeluarkan harus kembali.

Kurang 'Pede' nya Para Caleg
Kurang 'pede', ini hanya istilah penulis saja. Artinya tidak sedikit para caleg yang kurang siap untuk 'nyaleg'. Sehingga untuk menjual dirinya ke masyarakat malah menjadi gagap. Tidak mempunyai kemampuan diri hanya berani karena punya dana-modal besar. Sehingga ketika melakukan sosialisasi kedapilnya yang banyak bicara adalah uangnya. Menyumbang untuk perbaikkan jalan, menyumbang sarana olah raga dan membangun pos kamling  adalah hal yang sering dilakukan oleh caleg yang beruang.

Ongkos politik seperti ini dianggap wajar. Jadi wajar pula jika untuk menjadi anggota DPRD saja para caleg harus punya dana 2 Milyar. Sepertinya penulis tidak akan pernah mimpi untuk menjadi caleg. Kalau hanya modal nekad saja penulis pun tidak sanggup, untuk apa kalau hanya jadi bulan-bulanan politik.***

Tidak ada komentar: