Selasa, 30 Agustus 2011

Ketupat Lintas Agama

KETUPAT 
YANG MENYATUKAN
Oleh: Abu Gybran

Asal-Usul Ketupat
Siapa yang pertama kali mempopulerkan ketupat? Tidak ada satupun pentarikhan yang jelas mencatat kapan ketupat masuk ke Indonesia. Diduga ketupat diperkenalkan kali pertama oleh Sunan Kalijaga kepada masyarakat jawa. Hingga kini ketupat menjadi hidangan pada hari Idul Fitri/lebaran dan enam hari setelah lebaran atau disebut dengan lebaran ketupat.

Ketupat yang dibuat dari daun kelapa muda yang diisi dengan beras, setelah dimasak, kebiasaan masyarakat jawa adalah menggantungnya di tiang pintu. Saya berusaha mencari tahu maksud dan tujuannya, walau hingga kini saya belum mendapatkan jawabannya. Tapi bagi masyarakat jawa ketupat mempunyai makna filosofi yang luar biasa hebatnya.

Pertama; dilihat dari rumitnya anyaman ketupat melambangkan dan mempunyai makna bahwa banyaknya kesalahan manusia. Baik disadari atau tidak, manusia memang tempatnya salah dan dosa.

Kedua; jika ketupat dibelah, maka putihlah warnanya. Ini mencerminkan kesucian hati setelah memohon ampunan kepada Allah SWT dari segala kesalahan yang dilakukan.

Ketiga; ragamnya bentuk ketupat merupakan cerminan dari kesempurnaan jiwa. Hal ini tentu saja dikaitkan dengan kemenangan kaum muslimin setelah menundukkan hawa nafsu yaitu puasa sebulan penuh. Kesempurnaan jiwa adalah manakala hati mampu menerima segala perbedaan yang terjadi dalam kehidupan di alam dunia ini dengan tidak mengedepankan nafsu atau ego pribadi.

Lintas Agama
Semangat kebersamaan tercermin jelas ketika ketupat yang selesai dimasak tidak dimakan sendiri, tapi dibagikan pada kerabat atau tetangga dekat tanpa memandang status sosial atau agama. Ketupat menjadi hidangan yang wajib disajikan pada tamu yang berkunjung pada saat lebaran. Menjadi nikmat ketika ketupat dihidangankan dengan sate, sayur buncis atau labuh.

Di Jawa Barat dan Banten, ketupat tidak lagi khusus menjadi hidangan saat lebaran, tapi sudah menjadi bahan dagangan yang dikenal dengan "ketupat sayur". Di Tangerang, khususnya pada Kawasan Industri, ketupat menjadi panganan sarapan pagi bagi buruh-buruh pabrik.

Pada perkembangannya ketupat bukan hanya menjadi lambang Idul Fitri bagi umat islam di Indonesia, tapi sudah melintasi agama. Bagi umat hindu di Bali, ketupat sering dipersembahkan sebagai sesaji upacara keagamaan.

Ya,ketupat yang menyatukan dan mendekatkan hati antar sesama, tanpa dibatasi oleh perbedaan keyakinan, semestinya terus ada dan terpelihara dihati bangsa yang majemuk ini; Indonesia.***

Mohon Maaf Lahir Dan Bathin

LEBARAN PENUH CINTA
Oleh: Abu Gybran

Berbeda?.......Ya, dengan kata ini saya mengawali tulisan ini. Beda dalam penetapan 1 syawal 1432 H dan perayaan Lebaran tahun ini, tak menyurutkan niat saya untuk mengucapkan permohonan maaf yang setulus-tulusnya kepada semua pembaca yang berkenan mampir ke blog saya ini. "Mohon Maaf Lahir Dan Bathin"

Harapan saya; perbedaan dalam perayaan lebaran tahun ini tidak membuat keretakan serta perpecahan dikalangan umat yang merayakannya. Semoga saja perbedaan dapat melahirkan rasa cinta bukan kebencian dan permusuhan. Ya, alangkah indahnya jika perayaan lebaran yang berbeda ini dibungkus dengan rasa cinta dan saling menghormati.

Lebaran Penuh Cinta
Lebaran penuh cinta adalah kata yang tepat untuk menengahi perbedaan perayaan lebaran tahun ini. Mengedepankan kedewasaan berfikir dan kejernihan hati, perbedaan apapun bentuknya bukanlah halangan untuk tetap menjalin kasih seta sayang antar sesama.

Ketika saya mengenal kata 'perbedaan' seutuhnya, betapa banyak saya menemukan hal-hal baru dalam perjalanan bathin saya. kata toleransi yang sebelumnya hanya mampir sesaat dalam diri saya, kini menjadi kata kunci untuk menikmati betapa indahnya perbedaan. Ketenangan bathin, kelembutan hati dan kekhusukan dalam beribadah mewarnai langkah-langkah berikutnya.

Semoga saja lebaran kali ini dan seterusnya senantiasa bertabur canta dan kesucian hati bagi yang merayakannya. Amin. ***

Minggu, 28 Agustus 2011

Menulis

Menulis
Apapun Yang Bisa Ditulis
Oleh: Abu Gybran

Sebisa mungkin saya akan terus menulis, apapun yang bisa ditulis. Menulis merupakan wisata batin dalam menterjemahkan apa yang dapat saya lihat, dengar dan rasakan. Dengan menulis saya dapat berbagi dengan siapa saja. Walau tulisan saya mungkin terkesan apa adanya oleh sebagian pembaca, tidak menjadi masalah bagi saya. Justru kritikan yang saya harapkan agar kedepan saya dapat terus mempertajam pena saya.

Diruangan kecil tempat saya menghabiskan waktu terkadang berjam-jam menumpahkan segala rasa. Berbicara, bercanda dengan merangkai kata demi kata merupakan kepuasan tersendiri dalam merefleksikan perjalanan hidup yang telah dilewati.

Saya suka menulis puisi, cerpen atau apa saja yang penting saya menulis.  Walau mungkin saat ini sedikit orang yang membaca tulisan saya, tapi saya yakin lima atau sepuluh tahun kedepan tulisan saya akan mempunyai nilai tersendiri. Sebab tulisan tidak akan pernah mati.

Abu Nawas, Chairil Anwar, WS. Rendra dan banyak lagi tokoh yang saya kagumi hasil karyanya, saya dapat merasakan betapa tulisan mereka mempunyai 'ruh' setelah berusia puluhan bahkan mungkin ratusan tahun.
 
"Kami sudah coba apa yang kami bisa. Tapi kerja belum selesai......." penggalan dari bait puisi Chairil Anwar ini yang terus memotifasi saya untuk terus menulis. Ya, jalan masih panjang untuk dilewati, harapan masih terbentang dan kerja belum selesai. ***

Lebaran

Lebaran,
Dari Pasar Tumpah
Hingga Pos Ronda
Oleh: Abu Gybran

Lebaran 1432 Hijriyah kali ini, saya dan keluarga tidak pulkam (pulang kampung).  Tinggal dikomplek perumahan memang terasa berbeda jika menjelang lebaran, sepi. Menurut data di ke-RW-an 01 Taman Cikande, setidaknya 40% warga melakukan acara ritual tahunan ini.

Agar tidak jenuh dirumah, ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengisi liburan lebaran diantaranya adalah belanja untuk keperluan lebaran, bukan ke mall tapi ke pasar tumpah, Gembong. Sedangkan malam harinya 'ngerumpi' di pos ronda bareng warga lain, japung (jaga kampung).

Pasar Tumpah
Belanja kepasar, bukan hal yang baru bagi saya. Berbaur dengan pengunjung pasar yang rata-rata didominasi oleh ibu-ibu itu, merupakan hal yang mengasyikan, unik dan seru tentunya. Pasalnya, belanja di pasar tumpah harus pandai menawar, jika tidak, uang habis dan barang belanjaan dapatnya sedikit.


Pasar tradisional atau sering disebut pasar tumpah menjelang lebaran ini, selalu menjadi tumpuan bagi golongan masyarakat menengah kebawah. Letaknya tidak jauh dari jalan raya, sehingga sering kali menjadi biang kemacetan  terlebih mejelang lebaran karena padatnya kendaraan para pemudik.

Kebutuhan pokok untuk merayakan lebaran telah mendongkrak harga sembako 'melangit'. Harga daging mencapai Rp 95,000-100,000/kg-nya, ayam buras Rp 42,000/kg, telor ayam Rp 24,000/kg, ikan bandeng 23,000/kg dan hampir semuanya naik. Nampaknya cuma 'kolor' saja yang nggak pernah naik, turun terus......hehehehehe....

Ngeronda  

Japung (jaga kampung) atau ngeronda merupakan hal yang biasa dilakukan oleh warga yang tidak mudik lebaran. Menjaga lingkungan adalah budaya yang harus dijaga sebab  melalui kegiatan ini setidaknya memberikan kenyamanan bagi warga yang meninggalkan rumahnya. Walau cuma 'ngerumpi' di pos ronda yang sesekali memukul kentongan, setidaknya mampu memberikan suasana hidup. 

Dingin dan ngantuk, dua hambatan ini yang menghabiskan bergelas-gelas kopi panas agar mata terus melek.  Sambil ditingkahi bantingan kartu domino, bahkan ada juga yang hanya mainin hp-fb-an yang penting mata tetap melek, ngeronda ini akan berlangsung hingga dini hari.

Jam 03 dini hari, keliling membangunkan warga muslim untuk makan sahur sambil tidak lupa bawa kentongan atau apa saja yang bisa dipukul, yang penting bunyi. "Sahur,.....sahur.....sahur".

Rutinitas ngeronda ini akan terus berlangsung hingga warga yang pulang mudik kembali. Biasanya sih, satu minggu setelah lebaran. ***



Keterangan gambar:
  • Pasar tumpah, Gembong, Jl. Raya Serang km 32, Tangerang
  • Ngeronda Warga RT 07/01 Taman Cikande, Tangerang

Jumat, 26 Agustus 2011

THR Pelipur Lara

TUNJANGAN HARI RAYA
ATAU SEKADAR PELIPUR LARA?
Oleh: Abu Gybran













Ada rasa haru ketika saya menyaksikan dan mendengar cerita sekelompok buruh yang baru menerima Tunjangan Hari Raya (THR). Sambil menunggu angkot mereka mengumbar cerita perihal THR yang sudah diterima yang mereka kaitkan dengan masa kerja yang telah mereka jalani. 

"Dari dulu besaran THR, kok, sama saja antara pekerja lama dan baru, seharusnya dibedakan", kata salah seorang diantara mereka.

"Ya, benar, tuh. Aku saja sudah kerja 15 tahun, masak cuma dapat satu bulan upah. Sedangkan pekerja yang baru satu tahun saja dapatnya sama. Nggak adil rasanya", sahut yang lainnya.

(Besaran upah berdasarkan Upah Minimum Kabupaten Tangerang yaitu Rp 1,285,000 per bulan tahun 2011)

Ada kecemburuan sosial yang terjadi diantara mereka, sementara mereka hanya bisa pasrah dan menerima. Padahal banyak celah yang bisa dirundingkan dengan majikan mereka agar penerimaan upah mencerminkan keadilan. Tapi sepertinya mereka mendapatkan kesulitan untuk menyalurkan aspirasi mereka. Itu saya tahu, buruh pabrik yang rata-rata perempuan itu adalah buruh kontrak.

"Kita bisa apa? Kita ini cuma buruh kontrak", kata yang lain. Ya, mereka adalah buruh kontrak walau sudah belasan tahun bekerja. Tanpa Serikat Buruh/Pekerja, mereka memang tak mampu berbuat apa-apa.  Sebab dengan kontrak kerja yang tak pasti, karena selalu berubah-rubah bahkan bisa diberhentikan kapanpun mengikuti selera pengusaha, mereka jelas kesulitan untuk membentuk Serikat Buruh/Pekerja. Sistem kerja kontrak yang menggurita saat ini pasca disahkannya Undang-Undang Ketenagakerjaan no. 13/2003, merupakan madu manis bagi pengusaha dan racun mematikan bagi buruh.

Memang, pengusaha, tidak sepenuhnya salah dengan pemberian THR satu bulan upah kepada buruh yang masa kerjanya diatas satu tahun karena Keputusan Menteri no. 04/1994 mengatur demikian. Tapi tentu saja salah dengan menyama-ratakan pemberian upah kepada buruh tanpa membedakan masa kerjanya karena tidak mencerminkan keadilan.

Menurut saya, pemberian THR satu bulan upah kepada buruh yang masa kerjanya lebih dari satu tahun, yang dilakukan oleh pengusaha; hanya sekadar untuk menggugurkan kewajiban belaka.  Kasarnya, hanya sekadar pelipur lara bagi buruh!!!

Ya, mereka hanya bisa pasrah dalam ketidak-berdayaan. Sebab saya mendengar gerutuan mereka; "Lumayanlah daripada nggak dapat THR". Dan saya diam dalam keterharuan. Tapi melalui tulisan saya ini, besar harapan saya ada yang peduli dengan keadaan mereka.***






Senin, 22 Agustus 2011

Puisi Yang Menggugat 2

SOLIDARITAS
Oleh: Abu Gybran















Solidaritas.....!!!
Suara buruh melangit
Menembus ruang waktu
Menyusur tiap pintu kesadaran
Membangunkan yang terlelap
Menggugah yang terdiam
bungkam

Solidaritas.....!!!
Suara buruh melangit
Menembus tembok beton
Menelisik tiap lipatan keangkuhan
Menggugat yang pongah
serakah

Bung.....!!!
Bukan saatnya bertanya; apa dan siapa
pembawa bendera
Ragam warna adalah kekuatan
kesejukan dan keindahan perjuangan
Satu keyakinan
Sebab tidak ada baju zirah yang tak dapat ditembus
Ribuan peluru kebebasan
Kemenangan menunggu didepan
Merindukan tiap gerak perubahan ***

Tangerang, 22 Agustus 2011


Minggu, 21 Agustus 2011

Puisi; Tentang Kita (2)

Aku Muaramu
Oleh: Abu Gybran
















Belum lama
Masih jelas dalam ingatan
saat derai tawa lepas
mencerahkan
Hari tanpa keterikatan
Seperti air sungai menyusur
tanpa tahu dimana muara
tanpa tanya; kenapa?

Aku muara itu
dengan segala kerelaan
Merekam jejak tiap biduk berlabuh
Ragam cerita diutarakan
Ada candamu tak terlupakan
Ungkapan awal keterikatan
riak-riak kedekatan
Aku tak hendak mengatakan ini cinta
Menyusur seperti dirimu mengalir
Bersatunya kita waktu yang menentukan
tanpa tanya; kapan?

Aku muaramu
Merekam jejak tiap biduk berlabuh
Menunggu tak kan menyurutkan kesetianku. ***

Tangerang, 21 Agustus 2011


Bersetubuh Dengan Waktu
Oleh: Abu Gybran

Gundah
menelungkupkan jiwa
Tak berkutik, diam
Tak berkata-kata
Hela nafas adalah kecemasan
Bisik hati melapal doa
lewat getar-getar jiwa aku mencumbumu

Menelanjangi diri
bersetubuh dengan waktu
Gundah bermuara pada kepasrahan
Aku yakin;
Kau tak kan meninggalkanku ***

Tangerang, 22 Agustus 2011

Kamis, 18 Agustus 2011

Puisi Yang Menggugat;

PENYAIR YANG DIBUNUH
Oleh: Abu Gybran



















Penyair yang dibunuh
Siapa yang membunuh?
Dibuang jiwa melayang
terlentang
Dipematang
sawah yang mengerontang

Iblis berpesta riang
Tujuh hari tujuh malam
Darah juang dimeja hidang
beku dalam loyang

Iblis kenyang
Terpejam mata hingga pagi menjelang
siang
kembali menggarang
Tak henti menantang
Penantang
bermunculan satu, dua, tiga hingga tak terbilang
Iblis meradang
ternyata;............

Penyair yang dibunuh
Penanya kebal tak terbunuh
Terus bernapas
bernapas
Terus menggugat
menggugat
Hingga iblis tak lagi mampu membunuh***

(Tangerang, 18 Agustus 2011)



Tangerang, 13 Juni 2011


Minggu, 14 Agustus 2011

Puisi; Yang Dibiarkan

BELUM SAATNYA KIAMAT
Oleh: Abu Gybran
















Menguning daun-daun itu
sudah hampir seminggu
Ditinggalkan setuhan jemari basah para penari
Menghitam diselimuti jelaga
Cerobong pabrik
yang mengepung

Kemana jemari basah para penari pergi?
Musik keras tak lagi terdengar
Pantas saja penari tak lagi menari

Diam dalam hiruk-pikuk
keserakahan duniawi

Semua seperti tengah menuggu mati
Inikah kemarau itu?
Semoga tidak terulang kisah Nabi Yusuf
Kisah kematian sapi-sapi yang kurus
karena haus.

Ini hanya sepenggal kisah keserakahan
yang mematahkan jemari basah para penari
pembawa kendi-kendi penyejuk 
Keserakahan yang mematikan gelegar musik keras dan
mengusir embun pagi


Mengering mata air dan sungai
Menghitam jelaga
Mengkristal keserakahan
Makin tersengal napas, tipis
Mati berjama'ah

Hah.....!!!
Padahal belum saatnya kiamat-Mu
Pentas belum berakhir.

"Telah nampak kerusakkan
di darat dan di laut
akibat perbuatan tangan manusia itu sendiri......"
(Firman-Mu; Ar-Ruum, 41) ***


Tangerang, 14 Agustus 2011





Sabtu, 06 Agustus 2011

Puisi Yang Terserak (1)

DIUJUNG DESEMBER
Oleh: Abu Gybran

(Dalam pencarian diri........)

Ada hijab yang menghalangi pandanganku
Melihatmu
Menemukanmu
Aku harus memutar arah
Menelisik tiap lipatan jalan berkelok
Mengurai hari melewati kecemasan
Diujung Desember dalam catatan
aku telah kehabisan lembaran
Merekam beribu tapak menyusur jalan
Arahmu sulit ditemukan

Jemariku, tak cukup menghitung desah nafas
panjang
Terbentang
Rintang
menghadang
Aku meradang

Diujung Desember, aku belum mau mati
Dengarlah; "Wahai jiwaku
Kenapa harus diam dan
Kenapa terdiam.....???
Bicaralah pada malam"

Bercengkrama dalam untaian mimpi panjang
Membuka hijab penghalang
Menemukanmu esok pagi

Kau dekat, bahkan teramat dekat
Jiwaku; peluk aku sampai ujung waktu. ***

Tangerang, 31 Desember 2010